"KPK ingin memisahkan proses hukum dan politik. Bagi kami, itu proses hukum ketika MSH (Miryam S Haryani) sudah tersangka dan pemeriksaan sudah dilakukan. Dan kemudian bukti dipandang lengkap, sudah bisa dilimpahkan ke penuntutan dan dibawa ke persidangan," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Kamis (15/6/2017).
Febri memang tidak membantah adanya saran dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD agar KPK mempercepat proses hukum dengan membuka lebih dulu rekaman di persidangan sebelum Pansus memintanya. Namun ia meyakinkan bahwa proses penanganan perkara Miryam tidak terpengaruh Pansus Hak Angket yang sarat muatan politis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun apa pun yang terjadi, KPK konsisten tidak akan membuka bukti rekaman di luar persidangan, walau hanya sebagian kecil seperti yang dimintakan Komisi III DPR.
"Kalau Pansus ditujukan atau latar belakang awal Pansus Angket ini dibentuk karena pembukaan rekaman tersebut ditolak KPK pada saat rapat dengar pendapat Komisi III, kalau hanya rekaman itu, cukup nunggu di pengadilan saja," jawab Febri.
Jika itu sampai terjadi, baik KPK maupun Komisi III DPR akan sama-sama melanggar hukum karena membuka alat bukti di luar koridor hukum.
"Tentu saja tidak tepat kalau lembaga terhormat seperti DPR dan lembaga penegak hukum seperti KPK sama-sama membuat pelanggaran hukum," tukasnya.
Sebelumnya, pada Rabu (14/6), 132 akademisi yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, yang diketuai Mahfud MD, bersama Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas memberi dukungan KPK untuk menolak hak angket. Mereka menilai ada tiga cacat hukum dari pembentukan Pansus.
KPK kemudian diminta tidak mengikuti kehendak Pansus Angket, yang pembentukannya menabrak peraturan perundang-undangan. Karena mematuhi tindakan Pansus angket merupakan bagian dari pelanggaran hukum. (nif/jor)











































