Bulan puasa 1438 H jatuh saat mulai memasuki musim panas (zomer), dan secara umum di Belanda, suhunya sangat berubah-ubah, bisa jadi sangat panas (hari ketiga Ramadan, mencapai 31 derajat Celcius), namun di lain hari angin-badai akan membuat suhu turun drastis, sebuah tantangan besar buat kami sekeluarga. Hal ini ditambah dengan kondisi di mana Muslim minoritas, menjadikan suasana Ramadan secara umum tidaklah terlihat, sehingga godaan semakin berat.
Tantangan lebih besar adalah bagi anakku, 9 tahun, yang kalau di Malang sejak usia 6 tahun sudah biasa puasa full, namun di sini bisa menjadi sangat berat, mengingat hampir tidak ada 'keringanan' aktivitas sekolah selama Ramadan-seperti yang biasa diterima anakku di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Santap sahur berlangsung hanya sekitar 10-15 menit, yang diakhiri dengan salat Subuh pada sekitar pukul 03.15. Pukul 04.00, kami semua kembali tidur, sampai pukul 07.00, saat kami dengan berat menggulung selimut, lalu ke kamar mandi. Tidak selalu mandi, lebih sering hanya cuci muka untuk sedikit menghilangkan kantuk, dan lalu pukul 08.00 dengan bersepeda, aku mengantar anakku berangkat sekolah.
Pukul 15.00, dari rumah kawasan Slotervaart secara rutin aku jemput anakku, dan selanjutnya setelah salat Zuhur kupersilakan anakku untuk tidur siang. Dalam hati, aku sangat bangga dengan anak perempuanku satu-satunya, yang baru 9 tahun, tapi mau dan mampu berpuasa selama hampir 19 jam, padahal tentu saja dia sebenarnya belum kena kewajiban untuk itu (karena belum akhil baliq).
Rutinitas berubah saat hari Minggu, karena inilah "hari Indonesia", hari di mana kami bisa lebih bebas bercengkerama dengan komunitas orang Indonesia, sekaligus untuk bisa mendalami agama kami. Euromoslim adalah tempatnya, sebuah masjid komunitas Indonesia yang kami gunakan untuk bermasyarakat, sekaligus mendidik anak-anak kami menjadi generasi Islami yang membanggakan.
Anakku belajar 2 hal di Euromoslim ini, yaitu baca tulis Alquran serta adab dan dakwah. Orangtua siswa juga turut belajar, dengan sistem kuliah mengenai berbagai hal seperti pembahasan kitab Sahih Bukhari-Muslim, dan juga belajar baca Alquran (tajwid dan qiraah). Di sela-sela itu, kami menjalin keakraban lewat bertanya kabar, sampai pada mengadakan kegiatan sosial yang bisa membantu rekan Indonesia yang sedang kesulitan atau mempunyai masalah. Walau berlangsung hanya selama 3,5 jam (mulai pukul 12.45-16.15), namun hal ini cukup mengobati kerinduan kami 'merasakan' Indonesia.
Foto: Aktivitas anak di Euromoslim, belajar membaca Alquran dan bersosialisasi (Endratno Budi Santosa) |
Komunitas Indonesia di Amsterdam cukuplah besar, selain yang berada di beberapa kota besar lain di Belanda (Rotterdam, Den Haag, Utrech). Selain Euromoslim yang berada di Ekingenstraat, aktivitas dakwah komunitas muslim Indonesia juga diwadahi di PPME AL Ikhlas.
Foto: Aktivitas anak di Euromoslim, belajar membaca Alquran dan bersosialisasi (Endratno Budi Santosa) |
Kedua komunitas ini sama bagus, sedikit bedanya adalah kalau di Euromoslim, pengunjungnya banyak terdapat keturunan Arab/Timur Tengah, ataupun beberapa di antaranya adalah mualaf asli Belanda, sementara di PPME Al Ikhlas lebih banyak orang asli Indonesia, dan kebanyakan juga mahasiswa. Manfaat dan berkah sangat dirasakan berkenaan keberadaan dua komunitas dakwah tersebut, paling tidak mengeratkan silaturahmi di antara kami semua.
Foto: Euromuslim, pusat kegiatan Islam yang diampu muslim komunitas Indonesia. Banyak juga warga muslim Timur Tengah berpartisipasi di sini (Endratno Budi Santoso) |
Pada hari yang berbeda, saya ingin mendapatkan perbedaan suasana Ramadan dengan mengunjungi masjid komunitas Turki. Sasaran saya ke Masjid Aya Sofia, terbesar dan terindah di Amsterdam, yang terletak menuju pusat kota. Saya pernah melihat perbedaan cara ibadah komunitas India di Singapura, dan saya kembali merasakan perbedaan yang lebih lagi dari tata cara salat orang Turki di masjid ini. Terlepas dari itu, seperti menjadi penyadar buat saya bahwa segala perbedaan tersebut akan larut pada bacaan syahadat, serta hal-hal wajib lainnya bagi umat Islam, dan saya semakin percaya bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin.
Kekaguman saya semakin bertambah selain karena bentuk fisik bangunan masjid, juga saat salat Jumat, khatib dan imam salat nya adalah seorang remaja yang tidak lebih dari 15 tahunan. Luar biasa. Saya belum pernah melihat di Indonesia seumur hidup saya, salat Jumat dengan peserta sekitar 600 orang dikhotbahi dan diimami oleh seorang remaja.
Foto: Masjid Aya Sofia yang diampu komunitas muslim Turki, terbesar dan terindah di Amsterdam. (Endratno Budi Santosa) |
Muslim di Amsterdam sebenarnya jumlahnya termasuk sangat banyak mengingat kota ini adalah kota bisnis dan pendidikan, layaknya gula bagi semut. Semut yang dimaksud bisa jadi adalah para migran dari berbagai negara seantero dunia yang mau bekerja, termasuk juga keberadaan pengungsi perang (refugee) dari berbagai negara mayoritas muslim yang dilanda konflik seperti Suriah dan Irak.
Terlepas dari kontroversi keberadaan tokoh antimuslim-imigran Geertz Wilders, keberadaan masjid cukuplah mudah ditemui di Amsterdam, tentu saja dengan afiliasi komunitas (negara asal jamaahnya) yang berbeda-beda. Seperti di Masjid Turki, detail tata cara salat di komunitas lain pun sedikit berbeda, misalnya di masjid komunitas India-Pakistan, atau juga waktu saya salat tarawih di masjid komunitas Maroko. Keberagaman tersebut kembali menyiratkan sesuatu pesan dari Alquran, bahwa kita memang diciptakan dengan (latar belakang berbeda), untuk bisa saling mengenal dan berbagi kasih sayang.
Kami sekeluarga adalah jenis semut kedua, yang melihat Amsterdam sebagai tempat sumber ilmu, sehingga jauh-jauh kami ke sini meminta keridhaan dari kewajiban Illahi dalam hal menuntut ilmu. Semoga ilmu yang diterima istri di program PhD Universitas van Amsterdam (UvA) bisa memberikan nilai manfaat tidak hanya buatnya, tapi juga buat Indonesia nantinya. Dan semoga beratnya kami menjalani ibadah Ramadan di bulan suci ini menjadi barokah buat perjalanan kami ke depannya untuk bisa menjadi insan yang sukses dunia-akhirat. Semoga.
*) Endratno Budi Santosa, freelancer bapak rumah tangga di Amsterdam
***
Para pembaca detikcom, bila Anda mempunyai cerita yang berkesan saat Ramadan seperti yang diceritakan di atas, silakan berbagi cerita Anda ke email: ramadan@detik.com. Sertakan 2-3 foto yang mendukung cerita Anda, data diri singkat dan kontak (email atau nomor HP) yang bisa dihubungi. (nwk/nwk)












































Foto: Aktivitas anak di Euromoslim, belajar membaca Alquran dan bersosialisasi (Endratno Budi Santosa)
Foto: Aktivitas anak di Euromoslim, belajar membaca Alquran dan bersosialisasi (Endratno Budi Santosa)
Foto: Euromuslim, pusat kegiatan Islam yang diampu muslim komunitas Indonesia. Banyak juga warga muslim Timur Tengah berpartisipasi di sini (Endratno Budi Santoso)
Foto: Masjid Aya Sofia yang diampu komunitas muslim Turki, terbesar dan terindah di Amsterdam. (Endratno Budi Santosa)