Maspatum bercerita, ia tinggal di daerah Kemang, Serang sudah sekitar 40 tahun. Kebetulan dia sudah menempati sebidang tanah milik PT.KAI untuk warung. Namun, karena kebetulan dekat ke perlintasan kereta tanpa palang, ia berinisiatif menjaga pelintasan rel. Bahkan di bulan puasa, ia rela setiap hari meskipun terik matahari mengingatkan para pelintas.
"Sekarang kereta 24 jam, setiap hari. Urang mah niat ibadah bae, karunnya nyawa batur (diniatin ibadah, kasihan nyawa orang)," kata perempuan yang biasa dipanggil Nek Patum bercerita kepada detikcom, Sumur Pecung, Kota Serang, Selasa (13/6/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Nek Patum mengatakan di perlintasan Kemang pernah dibuatkan palang pintu dan posko untuk penjaga kereta api. Namun karena tidak ada yang menjaga, ia akhirnya merelakan diri mengingatkan para pelintas ketika ada kereta. Kebetulan, di Kemang memang ramai pelintas, apalagi lokasinya dekat dengan terminal dan pintu tol Serang Timur.
Sekitar empat hari lalu, karena tergesa-gesa Nek Patum bahkan harus terjatuh karena ingin menjaga pengendara melintas. Wajahnya sampai lecet-lecet dan lebam. Ia sampai harus membatalkan puasa berhari-hari karena sakit.
"Labuh ngadubrak, tapi alhamdulillah geus bisa nginum (jatuh tersungkur, tapi alhamdulillah sudah bisa minum)," katanya.
Sebelum tahun 2000-an, Nek Patum merasakan tidak selelah sekarang saat jaga perlintasan Kemang. Dulu, hanya ada dua kereta api di pagi dan sore hari. Tapi sekarang, menurutnya hampir setiap satu jam sekali kereta ada.
"Barang sekarang sudah rame, nenek mah nggak ada yang nyuruh, nggak ada yang larang. Ada yang ngasih diterima, nggak ada juga nggak apa-apa," katanya.
Apalagi, jika sudah hujan tiba, kadang-kadang Nek Patum mengaku sangat khawatir akan keselamatan pengendara.
"Jelema mah teu Cina teu Balanda, sarua bae umat Allah. Kumaha amun teu diingetkeun terus katabrak (Manusia itu meskipun Cina atau Belanda sama saja umat Allah. Bagaimana kalau nggak diingatkan lalu tertabrak)," sambungnya.
Palpudin atau Mang Udin, anak dari Nek Patum mengatakan bahwa ibunya memang bersikeras selalu ingin menjaga perlintasan kereta. Padahal, ketiga anaknya pernah mengajak tinggal. Namun karena ibunya mewakafkan diri menjaga, keluarga juga membiarkan. Anak-anaknya rela tidak tinggal bersama Nek Patum.
Seingat Udin, ia pertama kali dibawa oleh Nek Patum sekitar tahun 1980 ke Kemang. Waktu itu ia sudah melihat ibunya melakukan penjagaan di perlintasan Kemang.
"Dulu di sini ada klenengan (lonceng). Cuma biasa anak muda badung (nakal) dilemparin rusak klenengannya," kata Udin.
Sampai suatu hari oleh pihak PT. KAI keluarganya diperbolehkan tinggal menggunakan tanah dekat rel dengan syarat selalu menjaga warga yang melintas.
"Jadi kebijaksanaan, jadi kalau ada kereta katanya bilangin ke warga," kata Udin.
Alhamdulillah, karena pengabdiannya menjaga perlintasan kereta api di Kemang, Nek Patum beberapa tahun lalu pernah diajak umroh ke Makkah. Namun sayang, ia sendiri tidak tahu siapa orang dan lembaga apa yang berbaik hati memberangkatnya umrah.
"Pernah diajak umroh. Nggak tahu dari mana. Ada aja jalannya. Biarin orang mau ngomong apa. Tahu dari pemerintah provinsi tahu dari mana," ujar Nek Patum. (bri/rvk)