Balada Ramadan di Tripoli: Antara Ujian Kampus dan Kemelut Libya

Balada Ramadan di Tripoli: Antara Ujian Kampus dan Kemelut Libya

Agus Mujib - detikNews
Selasa, 13 Jun 2017 13:05 WIB
Balada Ramadan di Tripoli: Antara Ujian Kampus dan Kemelut Libya
Foto: Berfoto di depan masjid Kuliyah Dakwah Islamiyah Tripoli Libya (Agus Mujib)
Tripoli - Tanpa terasa sejak kedatanganku Februari 2014 di negeri sejuta penghafal Quran ini sampai detik ini sudah memasuki tahun keempat dan di saat yang sama moment ini menjadi Ramadan keempatku di Tripoli, ibukota Libya.B

Sejak revolusi 2011 merupakan fase baru bagi Libya. Namun sayangnya hal ini belum menjadikan Libya semakin membaik, yang ada hanyalah konflik yang berkepanjangan dalam upaya menentukan siapa yang berhak memimpin negeri ini.

Hal itu juga berdampak pada kami selaku mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di international Islamic Call College atau dalam bahasa Arab disebut Kuliyah Dakwah Islamiyah Al Alamiyah. Aktifitas para mahasiswa pun hanya sebatas di dalam lingkungan kampus dan sangatlah terbatas untuk melakukan aktifitas di luar kampus baik ketika libur kuliah ataupun pada saat bulan puasa seperti ini. Sehingga sangat jarang sekali bagi kami untuk sekedar ngabuburit seperti layaknya di Indonesia untuk berbaur dengan masyarakat sekitar untuk menikmati suasana Ramadan .

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada Ramadan keempatku di Tripoli, sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun kali ini agak sedikit berbeda karena puasa kali ini saya harus berjuang menghadapi ujian akhir tahun yang biasanya selesai sebelum datang Ramadan. Dahaga dan lapar menjadi hal biasa ketika bulan puasa plus harus bertahan dengan 16 jam lamanya. Bagaimana jadinya jika harus disandingkan dengan ujian yang cukup menguras otak karena dilangsungkan setiap hari berturut-turut tanpa jeda ditambah materi yang menumpuk?

Rasanya kalau tidak menggunakan SKS ( sistem kebut semalam) sebagaimana kulakukan dulu ketika di Indonesia. Namun tak mengapa. Ini barangkali menjadi Ramadan terakhirku di Tripoli karena tahun ini merupakan tahun penghujung perjalanan studi S1-ku yang selama ini kuperjuangkan dengan susah payah.

Bagaimana tidak? Sejak awal kedatanganku di negeri ini saya harus menaklukkan diri saya dari rasa takut dan was was karena konflik yang terjadi di sini. Ramadan pertama saya disuguhkan dengan konflik antar milisi yang terjadi di daerah sekitar kampus sehingga mengharuskan saya mengungsi sekitar sebulan di daerah lain.

Dan nyatanya hal itu tidak jauh berbeda dengan tahun berikutnya. Ada saja dar-der-dor suara tembakan yang terdengar terutama saat saat bulan puasa. Namun Alhamdulillah hal itu tidak sampai mengharuskanku untuk mengungsi seperti Ramadan pertama, dan hal itu bisa dilalui dengan normal sampai Ramadan kali ini.

Balada Ramadan di Tripoli: Antara Ujian Kampus dan Kemelut LibyaFoto: Suasana salat tarawih (Agus Mujib)


Di kampus ini saya dan teman-teman melewati Ramadan dengan teman-teman mahasiswa lainnya dari berbagai negara yang terdiri dari sekitar 35 perwakilan negara di berbagai belahan dunia. Jumlah mahasiswanya sekitar 265 orang, jumlah yang relatif sedikit untuk ukuran universitas tentunya.

Walaupun demikian saya merasakan kebersamaan yang mungkin tidak akan saya dapatkan di tempat lain khususnya ketika di Indonesia di antaranya: buka bersama dengan teman sekamar yang berbeda negara sehingga kita tahu apa masakan yang menjadi khas negaranya.

Seperti teman saya dari Ghana yang selalu memasak bangkuk yaitu sejenis makanan yang terbuat dari terigu yang dicampur air panas kemudian diaduk hingga menjadi gumpalan besar dan dimakan sebagai pengganti nasi. Dan juga ketika diundang oleh teman saya dari Afghanistan maka di sana saya akan menemukan nasi bukhori buatan mereka dengan daging ayam beserta kuahnya.

Balada Ramadan di Tripoli: Antara Ujian Kampus dan Kemelut LibyaFoto: Bukber dengan teman-teman dari Afghanistan (Agus Mujib)


Selain itu kita juga akan mendapati moment tarawih dengan para imam lintas negara seperti Senegal, Nigeria, Uganda, Afghanistan dan tak ketinggalan pula orang Indonesiapun ambil bagian, terutama menjadi muazin karena mempunyai suara-suara yang merdu kalau urusan azan.

Begitulah sepenggal suasana Ramadan yang saya habiskan di Tripoli. Ketika pulang nanti moment-moment tersebut tentunya akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Banyak sekali cerita bersama para penuntut ilmu yang datang jauh-jauh dari negeri asal mereka demi memperoleh ilmu agama yang memadai untuk bekal meneruskan dakwah di negeri mereka masing-masing.

*) Agus Mujib, mahasiswa S1 jurusan bahasa Arab di International Islamic Call College, Ketua Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia (KKMI) Libya
*) Artikel ini terselenggara atas kerja sama dan partisipasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) se-Dunia.

***

Para pembaca detikcom, bila Anda mempunyai cerita yang berkesan saat Ramadan seperti yang diceritakan di atas, silakan berbagi cerita Anda ke email: ramadan@detik.com. Sertakan 2-3 foto yang mendukung cerita Anda, data diri singkat dan kontak (email atau nomor HP) yang bisa dihubungi. (nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads