"Penggunaan istilah kriminalisasi, selain salah kaprah, menyesatkan publik," kata Eddy.
Hal itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perlindungan Anak serta UU Guru dan Dosen di gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (12/6) kemarin, sebagaimana dikutip dari website MA, Selasa (13/6/2017). Pemohon, yang terdiri atas guru, merasa UU Perlindungan Anak multitafsir dan berisi pasal karet sehingga kerap mengantar para guru ke penjara atau mengalami kriminalisasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu pasal yang digugat adalah Pasal 9 ayat 1a UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.
Pemohon meminta UU Perlindungan Anak diberi tafsir yang jelas, tidak multitafsir, sehingga tidak menjadi pasal karet. Namun, menurut Eddy, pasal di atas tidak multitafsir.
"Pasal-pasal a quo justru memberikan perlindungan hukum secara in abstracto karena baik anak peserta didik maupun peserta didik mendapat perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan baik fisik maupun psikis. Pasal-pasal a quo mengandung norma yang jelas dan terang. Tegasnya, pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta sebagai syarat mutlak dari asas legalitas," Eddy menerangkan.
Adapun harapan para guru untuk mendapatkan imunitas dalam melaksanakan fungsi mendidik, Eddy tidak sependapat
"Imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Dengan demikian, imunitas yang dimaksudkan oleh para pemohon justru memberikan kesan diskriminatif yang pada hakikatnya bertentangan dengan perlindungan hukum itu sendiri," pungkas Eddy. (asp/fdn)