"Hukuman fisik justru mendorong anak melakukan praktik hukuman fisik kepada pihak lain. Hal ini tidak mengubah perilaku anak," ujar Sri Wiyanti dalam persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (12/6/2017).
Sri mengatakan, di Indonesia hak asasi anak dilindungi oleh UU. Sebab, Indonesia sendiri telah meratifikasi UU Perlindungan Anak sejalan dengan pandangan dari PBB.
"Di Indonesia diatur perlindungan hukuman fisik tidak selaras penegakan HAM, khususnya HAM anak. Hal ini tidak bertentangan UUD 1945," bebernya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasal 39 UU tentang Guru dan Dosen perlu diatur pengaturan penting dan terus-menerus diperbaiki untuk sistem hukum bebas kekerasan," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, sekelompok guru menggugat UU Perlindungan Anak. Mereka merasa kerap dikriminalkan dengan UU tersebut, padahal sedang melaksanakan tugas mengajar dan mendidik siswa. Pangkalnya adalah Pasal 9 ayat 1a UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.
Pemohon meminta UU Perlindungan Anak diberi tafsir yang jelas, tidak multitafsir, sehingga tidak menjadi pasal karet. (edo/asp)











































