ICW: Pansus Angket KPK Tabrak 3 UU

ICW: Pansus Angket KPK Tabrak 3 UU

Elza Astari Retaduari - detikNews
Jumat, 09 Jun 2017 18:21 WIB
ICW: Pansus Angket KPK Tabrak 3 UU
Pimpinan pansus angket KPK. (Foto: Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta - Pansus hak angket KPK yang digulirkan DPR dinilai melanggar tiga undang-undang. Ada berbagai aturan yang dianggap ditabrak anggota dewan dengan terus berjalannya pansus.

Pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Donald Fariz mengatakan, persetujuan usulan hak angket saja sudah melanggar undang-undang. Ini karena Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sebagai pimpinan sidang paripurna pada 28 April lalu memutuskan secara sepihak.

Hal tersebut lantaran Fahri langsung mengetuk palu tanda persetujuan padahal belum semua fraksi menyatakan pendapatnya. Bahkan saat itu masih ada penolakan-penolakan dari sejumlah anggota dewan yang hadir di paripurna. Aksi Fahri kala itu berujung walk out nya seluruh anggota Fraksi Gerindra yang hadir di sidang paripurna, termasuk Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mekanisme pasal 199 UU MD3 tidak dijalankan. Pasal itu mengatur syarat persetujuan di paripurna soal angket harus dihadiri dan disetujui setengah lebih satu anggota DPR. Itu tidak dijalankan," ungkap Donald dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (9/6/2017).


"Fakta yang terjadi, Fahri mengetuk secara sepihak dan sejumlah anggota fraksi walk out. Angket sudah cacat hukum sejak awal," imbuhnya.

Selain Pasal 199, pembentukan pansus hak angket KPK menurut Donald juga melanggar pasal 201 UU MD3. Dalam pasal itu disebutkan pembentukan pansus harus memenuhi syarat keanggotaan dari seluruh fraksi. Seperti diketahui, Fraksi PKS dan Demokrat menolak mengirimkan wakilnya ke pansus angket KPK.

"Pasal 201, kewajiban seluruh fraksi mengirim anggota. Kedua pelanggaran UU 30 tahun 2002 tentang KPK bahwa KPK adalah lembaga negara yang independen. Pansus kan obyek nya harus pemerintah, bukan penegak hukum," sebut Donald.

Pada UU KPK, diatur juga KPK dilarang bertemu dengan pihak-pihak yang terkait dengan kasus yang sedang ditangani. Angket KPK sendiri diinisiasi karena DPR ingin mendengar rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani terkait kasus e-KTP. Dalam pemeriksaan, Miryam, menurut penyidik KPK, mengaku ditekan oleh sejumlah koleganya di DPR. Beberapa di antaranya masuk dalam keanggotaan pansus.


"Ketiga UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi publik, khususnya pasal 17 yang melindungi informasi dalam penyelidikan dan penyidikan untuk tidak dapat diakses oleh publik. Tiga-tiganya dilabrak oleh DPR," terang Donald.

Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik mengatur soal pengecualian informasi yang dapat dibuka ke publik. Salah satunya adalah pelarangan mengenai dibocorkannya dokumen atau data di wilayah pro justicia, termasuk pelarangan dibukanya informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.

Salah satu hal yang dipersoalkan inisiator hak angket, yakni Komisi III DPR, adalah soal audit BPK terhadap KPK. Donald menyatakan audit BPK tidak bisa masuk dalam materi hak angket. Sebab dalam UU MD3 Pasal 79, dijelaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas serta diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

"Audit BPK itu justru tidak masuk dalam ruang lingkup angket. Menurut pasal 79, angket itu mengenai kebijakan dan atau pelaksanaan UU yang bisa berdampak luas. Audit BPK bukan kebijakan KPK dan bukan pelaksanaan UU, tapi fungsi anggaran yang dijalankan KPK," urai Donald.


"Termasuk rekaman Miryam itu bukan obyek angket. Nggak bisa itu. Selain karena UU keterbukaan informasi, juga ada larangan rekaman penyelidikan dibuka di luar pengadilan," sambungnya.

Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun. Meski menurutnya pelanggaran terhadap UU tersebut harus ada pengakuan dari institusi yang berwenang.

"Kalau dianggap melanggar harus ada institusi yang menyebut. UU MD3, UU KPK dan UU Informasi Publik. Ada yang harus dirahasiakan. Intinya kalau dianggap harus ditindaklanjuti dengan menarik dalam paripurna atau mengajukan gugatan ke pengadilan agar dibatalkan. Tapi kalau ke pengadilan tidak produktif," papar Refly saat dihubungi terpisah, Jumat (9/6).


Refly pun menganggap hak angket KPK hanya alasan yang dicari-cari oleh DPR. Angket dinilainya hanya bermaksud untuk mengurangi fokus KPK yang tengah mengusut kasus besar, termasuk e-KTP.

"Angket nggak jelas, dicari-cari. Cari kelemahan dan kesalahan institusi. Kalau caranya begitu, KPK masih mending, lembaga lain masih lebih banyak (salahnya) kalau dicari. Tujuan angket itu kan harus soal sebuah kebijakan penting pemerintah yang berdampak, atau pelaksananan yang diperkirakan ada pelanggaran. Harus diformulasikan pelanggarannya apa?" ujarnya.

"Nanti malah seperti (pansus) Pelindo, baru ketemu salahnya. Semua institusi bisa ada. Itu ranah BPK. Angket itu instrumen check and balance antara legislatif dan eksekutif," tutup Refly. (elz/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads