"Perburuan rusa di alam jelas sudah mengkhawatirkan," kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Dahono Adji kepada detikcom, Jumat (9/6/2017).
Dia menjelaskan, ada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Perburuan liar terhadap satwa bisa kena pidana lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang belum bisa memastikan rusa jenis apa yang mati di Gunung Lawu itu, apakah Rusa Jawa, Rusa Timor, Rusa Sambar, atau kijang. Memang rusa bukanlah satwa yang terancam punah, namun statusnya bisa berubah bila perburuan terus terjadi.
"Belum terancam punah namun masih perlu dilindungi," kata Bambang.
Pihaknya telah bekerja sama dengan Persatuan Menembak Indonesia (Perbakin), mengajak semua yang punya hasrat menembak binatang agar menyalurkan hobinya ke sasaran yang diperkenankan. Misalnya menembak jenis babi yang menjadi hama. Juga, mereka dipersilakan berburu di kawasan perburuan saja, bukan di sembarang hutan.
Di Pulau Jawa, rusa endemik termasuk berjenis Rusa timorensis. Unit Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), sebagaimana tertera di situsnya, memberi Rusa timorensis dengan status 'vulnerable' alias rentan, berisiko tinggi menjadi punah.
Status 'vulnerable' itu disematkan ke Rusa timorensis sejak 2008, pada 1996 statusnya masih 'Lower risk/least concern' alias tak terlalu berisiko tergelincir ke jurang kepunahan. Tren populasi hewan ini juga 'decreasing' alias menurun. (dnu/fdu)