Keseharian Anak Merauke yang Bebas dari Ponsel Pintar

Tapal Batas

Keseharian Anak Merauke yang Bebas dari Ponsel Pintar

Danu Damarjati - detikNews
Sabtu, 03 Jun 2017 09:25 WIB
Silvester Kabujay di atas Ketinting (Danu Damarjati/detikcom)
Merauke - Tak ada ponsel pintar di tangan anak usia 12 tahun ini, melainkan tongkat untuk mengayuh ketinting. Wajahnya tak menunduk, mata tak terpaku pada layar sentuh, namun menatap jauh ke belantara.

Anak ini adalah David Kabujay, usia 12 tahun. Tubuhnya lumayan tinggi-besar untuk ukuran usianya. Dia duduk di atas ketinting, yakni perahu ramping yang dipasangi motor di belakangnya.

David sedang di tepian Kali Wanggo, sungai yang menyatu dengan rawa-rawa di kanan dan kirinya gara-gara sering diguyur hujan. Di Kampung Erambu, Distrik Sota, David menjalani kesehariannya sebagai satu dari banyak anak di Merauke, kabupaten di pojok timur Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya biasanya bangun jam enam pagi," kata David kepada detikcom, Minggu (14/5/2017).

David Kabujay.David Kabujay (Danu Damarjati/detikcom)

Bila bukan hari libur, David segera mandi setelah bangun pagi. Dia bersekolah di SMP Negeri Erambu. Dia sudah pulang dari sekolah dan sampai rumah pukul 12 siang.

"Setelah sekolah, berburu," kata David, tersenyum.

Masyarakat Malind Anim, termasuk suku Yeinan yang menaungi David sekeluarga, memang punya kehidupan yang lekat dengan alam. Berburu adalah aktivitas sehari-hari mereka.

Ketinting menjadi alat menjelajahi alam, menyambangi sungai, rawa, memuat barang, dan berburu. Perahu ini dibuat oleh ayah David, namanya Silvester Kabujay (40). Dia mengendalikan mesin ketinting ini.

Ketinting ini berukuran panjang sekitar 7 meter, lebarnya sekitar 75 cm saja. Karena bentuknya silinder dan sempit, perlu kehati-hatian tanpa banyak gerak untuk menaiki ketinting ini di atas air.

Ketinting.Ketinting (Danu Damarjati/detikcom)

Ketinting yang sudah berusia lima tahun ini dibuat dari kayu bintangur. Ada semacam tambalan seng di bagian kiri perut perahu. David, ayahnya, dan keponakan ayahnya bernama Meki (27) sering menggunakan perahu ini untuk berburu ikan.

"Berburu ikan mujair, ikan betik, ikan gabus, ikan nila. Pakai jaring atau pancing," kata David.

Bila ikan-ikan itu telah terkumpul, hasilnya bisa dikonsumsi sendiri atau dijual di pinggir jalan. Kami juga melihat kayu-kayu dipancangkan di pinggir Jalan Trans-Papua dekat Kali Wanggo, sejumlah ikan bergelantungan di kayu-kayu itu. Harganya Rp 15 ribu untuk mujair kecil, Rp 20 ribu untuk mujair yang besar. Kadang arwana juga didapatkan di sungai ini, arwana anakan dijual Rp 18 ribu di sini.

"Di belakang sana, banyak kanguru juga, saham," kata David.

Dia menyatakan, saham atau kanguru khas Merauke itu lebih mudah ditemui bila musim kemarau. Biasanya kanguru diburu dengan bantuan anjing, dengan alat golok atau panah.

"Kalau dapat kanguru kemudian dibelah dan dibersihkan. Bisa dibakar atau dimasak saja," kata David.

Ada pula hewan lain yang bisa diburu, yakni babi, rusa, atau kasuari. Aktivitas berburu ini dilakukan David sampai sore hari. "Berburu sampai jam empat sore. Kemudian pulang, mandi," kata David.

Dia mengaku kadang-kadang masih sempat belajar di rumah saat malam hari. Listrik di sini menyala pada pukul 18.00 sampai 00.00 WIT saja. Di luar jam itu, ya tak ada listrik, kecuali SMP Negeri Erambu misalnya, mereka punya sel surya yang bisa menyimpan listrik sekadar untuk kebutuhan ringan.

Silvester Kabujay di atas Ketinting.Silvester Kabujay di atas ketinting. (Danu Damarjati/detikcom)

Sel surya di SMP Negeri Erambu itu juga menjadi tenaga sinyal Wi-Fi satelit untuk sekitar sekolah, jangkauannya juga tak bisa jauh-jauh, hanya sampai halaman depan. Di luar itu, ponsel tak akan mendeteksi sinyal apa-apa. Memang tak ada sinyal GSM di kampung ini.

Pelajaran sekolah yang disukai David adalah matematika. Pelajaran yang paling sukar baginya adalah bahasa Inggris. Namun semenjak kehadiran guru program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) bernama Resvi Dora' (Evi), David sedikit terbantu dalam memahami bahasa Inggris.

"Enak Ibu Evi guru bahasa Inggrisnya daripada yang lain," ujar David.

Bila lulus SMP, dia berniat melanjutkan ke SMA. Dia punya cita-cita. "Jadi tentara, supaya bisa jalan-jalan, to?" ujar David.

Dia dan keluarganya sering berinteraksi dengan para serdadu yang menjaga perbatasan. Mereka juga sering menyewa ketinting kepunyaan ayah David.

Kampung Erambu.Kampung Erambu (Danu Damarjati/detikcom)

Kakak dari David, yakni Meki, menjelaskan aktivitas berburu yang sehari-harinya mereka lakukan tak akan membuat alam menjadi rusak. Hewan tak bakal habis diburu. Soalnya, perburuan ini dilakukan tidak sembarangan. Ada aturan yang dijaga.

"Jangan kita bunuh hewan yang anakan. Yang anakan kita kasih lepas," kata Meki.

Mereka juga berburu tanpa menggunakan senjata api, melainkan memakai busur, anak panah, dan golok. Termasuk dalam berburu saham, alat-alat itu juga digunakan.

"Saham (yang sudah dipotong) seharga Rp 70 ribu yang besar, yang kecil Rp 40 ribu. Kalau babi ya Rp 300 ribu kalau yang besar. Kalau rusa yang besar kita kasih keluar kulit sama tulangnya, baru kita timbang, dagingnya Rp 25 ribu per kilo," kata Meki.

Silvester juga memanfaatkan perahunya sebagai jasa memuat barang, yakni gambir. Ketintingnya biasa hilir mudik di Kali Wanggo Kampung Erambu sampai Kampung Toray untuk memuat gambir. Bila hilir mudik memuat gambir sedang intensif, hasilnya lumayan. Ongkosnya Rp 25 ribu sekali jalan.

Simak terus cerita tentang daerah terdepan Indonesia di tapalbatas.detik.com!


(dnu/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads