Dalam keterangan tertulis dari Bea Cukai, Selasa (30/5/2017), penindakan pertama berlokasi di perairan Aceh Tamiang, Sabtu (6/5/2017) lalu pada KM Sahabat Jaya I yang berbendera Indonesia. Kapal dengan nahkoda berinisial D dan dua orang anak buah kapal (ABK) berinisial S dan R, kedapatan membawa barang impor ilegal berupa 1.231 batang bibit pohon kurma.
Tak berselang lama, tepatnya pada Kamis (18/5/2017), di sekitar lokasi yang sama, kapal BC 30002 menindak KM Harapan Tujuh. Kapal berbendera Indonesia dan dinahkodai M dan empat orang ABK, yaitu Z, R, SY, dan SN. Di sana, petugas mendapatkan barang impor ilegal berupa 80 batang pohon kurma, 5,35 ton beras serta 61 kotak makanan kucing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusman mengatakan, dari pemeriksaan awal, diketahui bahwa kedua kapal tersebut mengangkut bibit dan pohon kurma, beras, serta barang ilegal lainnya dari pelabuhan Satun, Thailand dengan tujuan Aceh Tamiang.
"Barang tidak dilengkapi dengan dokumen kepabeanan yang dipersyaratkan yang harus ditujukan kepada kantor Bea Cukai, yang dalam hal ini adalah kantor Bea dan Cukai Kuala Langsa, yang membawahi atau mengawasi wilayah tujuan kapal, yaitu Aceh Tamiang," ujar Rusman.
Kedua nahkoda dijadikan tersangka karena diduga telah melakukan tindak pidana penyelundupan impor, melanggar pasal 102 huruf a UU Nomor 10.1995 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 17/2006 tentang Kepabeanan.
Barang bukti kasus ini telah disita dan hingga kini kasusnya masih dalam proses penyidikan oleh penyidik kantor wilayah Bea Cukai Aceh. Wilayah Aceh sendiri banyak memiliki pelabuhan tidak resmi yang berada di sepanjang pesisir timur pulau Sumatera.
Hal ini menyebabkan risiko tinggi terjadinya penyelundupan impor. Tentunya kesiapsiagaan patroli Laut Bea Cukai sangat dibutuhkan untuk mengawasi perairan Aceh dan menindak tegas beragam upaya penyelundupan, khususnya yang melalui pelabuhan tidak resmi sekaligus untuk mengamankan penerimaan negara.
(nwy/ega)