Prof E sendiri mulai mengajar sejak 1 Maret 1990. Setelah 25 tahun mengabdi, ia akhirnya diangkat menjadi guru besar di kampusnya. Prof E juga sempat menduduki pucuk pimpinan di kampusnya.
Namun kariernya tercoreng saat ia kedapatan selingkuh pada 2013. Salah satu bukti yaitu pembayaran kamar hotel. Tapi dalam pembelaannya, Prof E berdalih ia membayar booking hotel untuk keperluan nara sumber seminar yang akan memberikan ceramah di kampusnya, bukan untuk selingkuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap PNS wajib menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan martabat PNS.
Tidak terima dengan pemecatan itu, Prof E menggugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta. Gayung bersambut. PT TUN Jakarta menganulir SK pemecatan itu pada 7 September 2015. PT TUN memerintahkan SK pemecatan dicabut dan mengembalikan harkat Prof E ke kedudukan semula.
Atas hal itu, Bapek mengajukan kasasi dan dikabulkan. Pada 16 Februari 2016, majelis kasasi membatalkan putusan PT TUN Jakarta dan menolak gugatan Prof E.
Tidak terima dengan putusan itu, giliran Prof E tidak terima dan mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali (PK). Tapi apa daya, MA bergeming.
"Menolak permohonan peninjauan kembali," putus majelis PK sebagaimana dilansir website MA, Rabu (24/5/2017).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Suwardi dengan anggota Yulius dan Irfan Fachrudin. Majelis meyakini Prof E telah melakukan perbuatan intim layaknya suami istri dengan perempuan yang mempunyai suami yang sah dan penggugat juga mempunyai istri yang sah.
"Hal itu merupakan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan serta bertentangan dengan hukum sehingga penjatuhan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, sudah tepat," ucap Suwardi dkk dengan bulat pada 8 Maret 2017 . (asp/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini