Selidik punya selidik, si guru dijerat oleh Pasal 9 ayat 1a UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal itu disebutkan:
Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama perserta didik dan/atau pihak lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemohon dan guru lainnya menuntut adanya perlindungan terhadap guru sepenuhnya dari tindakan kriminalisasi dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diperlukan agar guru dapat bekerja secara optimal tanpa dibayang-bayangi ancaman hukum, sehingga para siswa akan lebih terdidik dengan baik," ujar tim kuasa hukum keduanya, M Asrun, yang dikutip detikcom dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/5/2017).
Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan menimbulkan rasa apatisme guru dalam melaksanakan tugas profesinya yang hanya mengajar sesuai kisi-kisi dan kurikulum.
"Selebihnya seperti penumbuhan karakter anak, tidak dapat dilakukan pendidikan karena guru khawatir dikriminalisasi lagi," cetus Asrun.
Indonesia seharusnya melihat sejarah pendidikan di Indonesia yang menunjukkan perlakukan yang cenderung diskriminatif sejak zaman kolonial Belanda. Hal itu membangkitkan kesadaran untuk terus mengupayakan agar guru mempunyai status yang jelas dan mendasar.
"Hasilnya antara lain terbentuknya UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen," kata Asrun menegaskan.
Pasal 14 UU Guru dan Dosen menyatakan:
Dalam melaksanakan tugas, guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan penghargaan dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Oleh sebab itu, pemohon meminta UU Perlindungan Anak diberikan tafsir yang jelas, tidak karet.
"Tidak mencakup tindakan guru dan tenaga kependidikan yang sungguh-sungguh memberikan sanksi dan atau hukuman yang bersifat mendidik untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundangan," papar Asrun dalam permohonannya (asp/dhn)











































