Penyelesaian Tragedi Mei 1998, Harapan Tak Bertepi

19 Tahun Tragedi Mei

Penyelesaian Tragedi Mei 1998, Harapan Tak Bertepi

Sudrajat - detikNews
Sabtu, 13 Mei 2017 13:58 WIB
Foto: Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah
Jakarta - Bina Graha, 15 Juli 1998 pukul 14.00. Sejumlah tokoh perempuan yang dipimpin Prof Saparinah Sadli berkumpul di sana menemui Presiden BJ Habibie. Kepada sang Presiden, mereka menyampaikan laporan dan temuan tim relawan terkait dengan kekerasan terhadap para perempuan selama kerusuhan, 13-15 Mei 1998. Sikap Habibie, yang semula diliputi keraguan, berubah setelah disodori sejumlah foto para korban.

"Saya ingat sekarang. Seorang keponakan saya, seorang dokter, pernah menceritakan hal serupa. Saya percaya Anda sekalian. Keponakan saya tidak akan berbohong kepada saya," respons Habibie kemudian seperti ditulis Dewi Anggraeni dalam buku 'Tragedi 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan', yang dikutip detikcom, Sabtu (13/5/2017).

Tak cuma setuju mengutuk peristiwa pemerkosaan dan meminta maaf, dia juga berjanji membentuk badan independen, yang kemudian bernama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Staf ahli Presiden Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, yang mendampingi Habibie, terkejut. "Pak, apakah hal ini tak perlu dibahas di rapat dulu?" ujarnya mengingatkan.

Tapi Habibie berkeras. "Can I have my own opinion? Saya kebetulan setuju dengan ibu-ibu tokoh masyarakat ini."

BJ Habibie dan Wagub Djarot Saiful Hidayat di TPU korban Kerusuhan Mei 1998, Pondok Rangon. BJ Habibie dan Wagub Djarot Saiful Hidayat di TPU korban Tragedi Mei 1998, Pondok Rangon. Foto: Cici Marlina Rahayu/detikcom

Sembilan belas tahun kemudian, tepatnya Senin (8/5/2017), Habibie kembali menunjukkan atensi khusus terhadap tragedi Mei 1998, khususnya kasus pemerkosaan massal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat hadir dalam pemakaman massal korban Tragedi Mei 1998, dia meminta keluarga dan pendamping korban peristiwa tersebut mengumpulkan berbagai dokumen pendukung yang diperlukan.

"Serahkan dokumennya ke Komnas Perempuan, saya yang (akan) sampaikan langsung ke Presiden Jokowi," kata Habibie, yang mengenakan safari berwarna krem dan syal merah-putih.

Entah dokumen apa lagi yang terkumpul. Hanya, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta pernah menyerahkan sejumlah dokumen terkait dengan kejahatan seksual pada kerusuhan Mei 1998 kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji, 24 Mei 2008.

Sepuluh tahun sebelumnya, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang dibentuk Habibie, mencatat ada 85 kasus pemerkosaan, 52 di antaranya pemerkosaan massal. Angka ini lebih kecil ketimbang temuan Tim Relawan untuk Kekerasan pada Perempuan, yang menyebut terjadi 152 kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual. Dari jumlah itu, 20 korban akhirnya meninggal dunia.

Tindakan biadab itu terjadi di kawasan Jakarta Barat, antara lain di Angke, Jelambar; Jembatan Dua, Tiga, dan Lima; Jembatan Besi; Cengkareng; Glodok; dan Kota. Juga di Jakarta Utara (Pluit, Pantai Indah Kapuk, dan Sunter). Para korban umumnya kaum perempuan keturunan Tionghoa.

Sekalipun demikian, temuan lapangan itu rupanya masih dinilai belum cukup. Ranah hukum cenderung berbelit karena punya logika dan prosedur tersendiri yang rigid. Boleh jadi, bagi kebanyakan orang awam serasa tak punya empati kepada korban dan keluarganya.

Bila prosedur yang diperlukan tak dipenuhi, segala hasil penyelidikan yang didapat dengan tingkat kesulitan tertentu tetap cuma dianggap sebagai asumsi.

Hendarman, misalnya, saat menerima dokumen dari Meutia Hatta tegas menyatakan pihaknya masih perlu kesaksian dari korban untuk membuktikan ada atau tidaknya kejahatan seksual itu. "Kalau tidak ada, bagaimana. Harus ada korban yang bercerita. Kalau orang mati juga harus ada visum. Alat bukti itu yang harus bicara sehingga yang namanya asumsi itu benar adanya," papar dia.

Argumentasi serupa berlaku untuk kasus kematian empat mahasiswa Trisakti dan aktor-aktor utama yang menggerakkan kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pendahulu Hendarman, Abdul Rahman Saleh, tegas menyatakan, untuk bisa mengusut Tragedi Mei, secara hukum mekanismenya panjang dan berbelit. "Harus ada keputusan politik DPR," tulisnya dalam memoar 'Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz'.

Abul Rahman Saleh Abul Rahman Saleh (Mindra Purnomo/detikcom)

Mantan aktivis LBH yang juga pernah menjadi hakim agung itu secara gamblang menyatakan, tanpa keputusan politik DPR, Tragedi Mei 1998 dan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM lainnya akan tetap tinggal sebagai bagian dari sejarah kelam bangsa ini.

Sialnya, Pansus DPR yang dibentuk pada November 2000 untuk menangani kasus Trisakti serta Semanggi I dan II tak merekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pada 9 Juli 2001, Panda Nababan selaku ketua pansus kala itu menyampaikan rekomendasi bahwa ketiga kasus tersebut ditindaklanjuti melalui pengadilan umum/militer, bukan Pengadilan Ad Hoc.

Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat pun mengakui penyelesaian melalui jalur yudisial membutuhkan dukungan politik pemerintah dan DPR guna membentuk Peradilan Ad Hoc. Begitu juga harus ada komitmen dari DPD dan parpol-parpol.

Mungkin karena menyadari peliknya prosedur formal yang harus dilalui, para pembantu Presiden Joko Widodo sempat melontarkan wacana agar penyelesaian berbagai kasus tersebut melalui jalur nonyudisial dan rekonsiliasi. Sebagai upaya menuju arah itu, pemerintah berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional.

Dewan ini menggantikan peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, yang sudah ditolak pembentukannya oleh Mahkamah Konstitusi. Wacana ini pun mengempis karena tak mendapatkan respons positif dari pihak-pihak terkait. Padahal prosedur untuk menempuh jalur formal yudisial, menurut Menkopolhukam Wiranto, sangat berliku.

"Cari saksi susah, cari bukti susah, kadang-kadang orang diminta jadi saksi juga tidak mau lagi, banyak hambatan itu yang tidak bisa kita sebutkan satu per satu di masyarakat," katanya.

Alhasil, selama tidak ada titik temu di antara para pihak, penyelesaian kasus Tragedi Mei ini sepertinya akan hanya menjadi wacana tak bertepi. (jat/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads