"Penghormatan terhadap hukum adalah cermin masyarakat yang berbudaya," ujar Asrorun kepada detikcom, Selasa (9/5/2017) malam.
Dalam perjalanan sidang Ahok, Asrorun mengatakan kesaksian dari NU diperhatikan oleh majelis hakim. Sebagai warga negara yang baik, menurutnya, seluruh masyarakat harus bisa menerima keputusan hakim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Institusi pengadilan sebagaui pemegang kekuasaan yudikatif menunjukkan independensinya, bebas dari intervensi. Ini penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, di saat institusi-institusi lain krisis kepercayaan," imbuhnya.
Ahok dinyatakan terbukti melakukan penodaan agama karena penyebutan surat Al Maidah 51 saat kunjungan ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Ia divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim.
Menurut Asrorun, sebenarnya vonis yang diberikan kepada Ahok cukup ringan. Ia membandingkan kasus penodaan agama oleh Arswendo Atmowiloto pada dekade 1990-an yang dipenjara empat tahun. Lalu ia juga membandingkan dengan Lia Eden yang dikurung selama hampir tiga tahun.
Jika memang tidak puas dengan putusan hakim dalam kasus Ahok, Asrorun menjelaskan ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh seperti banding. Menurutnya, seorang hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan suatu perkara.
"Hakim memiliki kemerdekaan di dalam memutuskan sebuah perkara. Kita harus menjaga independensi hakim dan menghormati putusannya. Kalau toh tidak puas, ada mekanisme hukum," pungkasnya. (brt/dkp)











































