"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yakni memperkaya korporasi PT Mahkota Negara sejumlah Rp 5.499.901.267, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sejumlah Rp 7.000.285.134," kata jaksa Ronald F Worotikan saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2017).
PT MN tergabung dalam Permai Grup atau Anugerah Grup yang dimiliki Nazaruddin. Kasus berawal saat diadakan pertemuan di kantor Permai Grup pada Januari 2009.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menindaklanjuti pertemuan itu, anak buah Nazaruddin yakni Mindo Rosalina dan Clara Maureen bertemu dengan PPK Made Meregawa dan Pembantu Rektor II UNUD I Dewa Putu Sudjana. Kemudian disepakati Permai Grup yang akan melaksanakan proyek pengadaan alkes di UNUD.
Mei 2009 terbit DIPA APBN 2009 dengan pagu anggaran Rp 18.523.589.000 yang di antaranya untuk pengadaan alkes.
Jaksa menjelaskan, Marisi turut serta melakukan pengaturan dan rekayasa dalam pengadaan alkes dengan tujuan PT Mahkota Negara ditetapkan menjadi pemenang lelang.
Cara-cara rekayasa antara lain mencari dan mengusulkan perusahaan-perusahaan pendamping lelang dan merekayasa dokumen administrasi dan Surat Penawaran Harga (SPH).
"Mempengaruhi panitia pengadaan untuk menyusun harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan data dan harga dari PT Mahkota Negara," ujar jaksa.
Selain PT MN sendiri, perusahaan-perusahaan yang diusulkan Marisi untuk mengikuti lelang 'fiktif' tersebut antara lain PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Alfindo Nuratama Perkasa, PT Borisdo Jaya, PT Digo Mitra Slogan, dan PT Gexcacom Intranusa.
Pada November 2009 PT MN resmi menerima kontrak pengerjaan senilai Rp 18.020.691.000.
Akibat perbuatannya, Marisi didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (rna/fdn)