"Saya menyayangkan insiden itu. Dimana kewenangan diskresi ini memang dimiliki oleh setiap anggota polisi, seharusnya sebelum menembak (Brigadir K) pastikan dulu tepat, serta tindakan apa yang akan dilakukan sebelum menembak ke arah korban," ujar Tito Karnavian di Mapolda Sumsel usai me-launching aplikasi Polisi Wong Kito, Jumat (28/4/2017).
Dikatakan Tito, akar masalahnya anggota kepolisian dalam menembak adalah kewenangan kemampuan diskresi, yaitu kewenangan untuk menilai suatu peristiwa dan mengambil tindakan yang cepat dan tepat dinilai kurang tepat. Belajar dari insiden di Lubuklinggau, Sekolah Kepolisian harus menambahkan kurikulum untuk penguasaan diskresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah diskresi yang tidak tepat juga dialami oleh Aipda Bekti Sutikno. Anggota Polres Bengkulu ini menembak anaknya karena dikira pencuri. Akibatnya Bagas Alvravigo (14) tewas saat dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Bengkulu.
Tidak hanya Brigadir K dan Aipda Bekti Sutikno, dalam kesempatan tersebut Tito mencontohkan kasus penyanderaan dalam angkot yang dapat ditangani oleh anggota Satlantas Jakarta Timur Aiptu Sunaryanto saat mendengar teriakan korban penyanderaan di angkot. Polantas yang hendak berangkat dinas itu lalu bergegas menuju ke sumber suara, sebuah angkot berwarna merah.
Melihat situasi yang begitu rawan, Sunaryanto tidak lantas mengambil tindakan gegabah, ia khawatir pelaku melukai korban. Kemudian dirinya bernegosiasi dengan pelaku.
Setelah setengah jam melakukan negosiasi, saat pelaku lengah Sunaryanto menarik pistolnya dan menembak ke arah tangan pelaku.
"Ada juga yang diskresinya tepat. Contoh saja Aiptu Sunaryanto, dia menembak tepat di tangan pelaku penyanderaan tanpa melukai korban. Ini juga harus diapresiasi, berarti langkah dan insting dia dalam memanfaatkan diskresi itu tepat," tutupnya. (try/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini