"Lima hari di sini, untuk pertama kalinya kita mendengar adzan," kata Javaid kepada kawan-kawannya, rombongan wartawan yang tengah diundang oleh Kantor Informasi Pemerintah Otonomi Xinjiang Uygur, China untuk serangkaian acara, dari seminar hingga berbagai kunjungan dan dialog, pekan lalu.
Sore itu, rombongan diajak berkunjung ke Xinjiang Islamic Institute di Urumqi untuk melihat langsung salah satu sisi kehidupan komunitas Islam setempat. Provinsi Xinjiang, dengan ibu kotanya Urumqi memang dikenal sebagai wilayah di China dengan mayoritas penduduk muslim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya, Xinjiang adalah pembuka pintu untuk memahami China. Dengan segala sumber daya, keragaman dan solidaritas yang dimiliki, mustahil memahami China tanpa melihat Xinjiang, sebuah propinsi paling luas dengan perbatasan terpanjang," tambah Tian Wen dari lembaga yang sama.
![]() |
"Kebebasan beragama ada di Xinjiang. Aktivitas beragama dilindungi hukum. Di sini ada Islam, Kristen, Buddha yang hidup harmonis berdampingan," sambung Tian Wen.
Bagi Pemerintah Beijing, provinsi yang merupakan daerah otonomi dengan 23 juta penduduk dan 47 kelompok etnik itu memang merupakan garis depan untuk memberikan gambaran kepada dunia, lewat media, tentang apa yang terjadi di China. Lebih jauh, Tian Wen menyebut kata-kata 'wonderland' dan 'great corridor' untuk menggambarkan wilayah yang di masa lalu disebut sebagai 'Barat'-nya China itu.
"Xinjiang adalah saksi perubahan peradaban dan pembangunan. Transportasi, subway, peningkatan dalam pendidikan, listrik, ketersediaan air, layanan kesehatan. Petani punya akses medical check up yang sama dengan masyarakat urban," tutur Tian Wen lagi.
Lebih jauh, Tian Wen menyebut angka kunjungan ke provinsi tersebut mencapai 70 juta orang pada tahun lalu. "Xinjiang makin modern dan friendly," ujarnya bangga seraya berpromosi.
Setidaknya, jika melihat Urumqi sebagai ibu kota, selama kunjungan berlangsung para wartawan memang bisa melihat sendiri betapa kota tersebut memang tengah sibuk berbenah. Pembangunan subway dan apartemen terlihat di mana-mana.
Dan, lewat kunjungan ke Xinjiang Islamic Institute, para wartawan yang mayoritas berasal dari negara-negara yang di masa lalu berada di 'Jalur Sutra', ditambah dengan wartawan asal Malaysia, Jepang, dan Indonesia (detikcom), melihat langsung anak-anak muda Urumqi memenuhi masjid untuk menunaikan salat asar. Usai salat, dengan penampilan ala anak-anak muda di kota-kota besar dunia pada umumnya—celana sport, sniker bermerek— mereka berolaha raga, masih dengan mengenai topi kopiah khasnya yang unik berhias bordir indah warna-warni.
"Multi-etnic dan multi-religion menjadi wajah fundamental Xinjiang," kata La Disheng, profesor dari Xinjiang Administrative College yang banyak meneliti tentang kebijakan etnik dan agama di wilayahnya.
Disheng mengklaim China merupakan contoh sukses pemerintahan sebuah negara dalam mengelola isu keberagaman etnik dan agama. "Pemerintah China menangani isu minoritas ini dengan sangat hati-hati. Sekaligus, isu ini menguji dan membuktikan kapasitas pemerintah," tuturnya.
"Ada 29 ribu masjid di Xinjiang dan angka ini lebih banyak daripada di beberapa negara yang pernah saya kunjungi," sambungnya seraya menambahkan bahwa jumlah masjid tersebut telah memenuhi kebutuhan kaum muslim Xinjiang.
"Anda bisa punya dugaan lain, tapi saya bisa tegaskan untuk meyakinkan Anda bahwa kebebasan dan aktivitas dalam beragama di sini dijamin dan dilindungi hukum nasional," pungkasnya. (mmu/idh)