Wacana Remisi Terpidana Narkoba, BNN: Kami Tak Sependapat

Wacana Remisi Terpidana Narkoba, BNN: Kami Tak Sependapat

Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Selasa, 25 Apr 2017 17:29 WIB
Ilustrasi tahanan BNN (Rengga Sancaya/detikcom)
Jakarta - Badan Narkotika Nasional (BNN) menolak usul pakar hukum dengan melonggarkan remisi untuk terpidana narkotika. BNN lebih memilih inovasi lapas dan klasifikasi kategori terpidana narkoba untuk mencegah lapas kelebihan kapasitas.

"Beberapa kali Pak Buwas menyatakan, mengatasi overkapasitas lapas bukan remisi, tetapi bagaimana mengembangkan lapas dan rutan lebih inovatif seperti dulu pernah disampaikan ada lapas untuk kategori bandar, pengedar, dan pengguna," ujar Kombes Sulistiandriatmoko kepada detikcom, Selasa (25/4/2017).

Sulis mengatakan, dahulu Kepala BNN pernah mengusulkan ada satu penjara khusus untuk bandar narkoba di pulau terluar Indonesia atau lapas maximum security khusus pengedar narkoba. Toh, pada akhirnya langkah itu lebih efektif untuk menekan angka peredaran narkoba di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"BNN tidak sependapat kalau jalan keluar remisi. Tetapi itu ranah Menkum HAM untuk menentukan," tuturnya.

Sebetulnya, lanjut Sulis, munculnya ide inovasi lapas dengan dijaga hewan buas merupakan sindiran halus. Terlebih dengan maraknya praktik peredaran narkoba di lapas dan wacana pembangunan lapas yang membuang anggaran pemerintah.

"Jangan sekadar bangun lapas, tapi inovasi. Klasifikasi mana bandar, mana pelaku yang pengedar dan pengguna, jadi masing-masing punya komunitas lapas sendiri," paparnya.

Sebagaimana diketahui, saat ini terpidana narkoba menjadi penghuni mayoritas LP yang mencapai 70 persen. Angka itu terdiri atas bandar, gembong, atau produsen narkotika sebanyak 23 ribu orang, pengedar narkoba sebanyak 34 ribu orang, dan pemakai narkoba 20.171 orang. Jumlah yang sangat besar itu menjadi penyumbang terbesar overkapasitas LP.

Sulis pun mempertanyakan sistem pengawasan pemberian remisi untuk terpidana narkoba. Terlebih penjahat narkoba terus mengikuti perkembangan zaman yang ada.

"Siapa yang biasa awasi mereka itu pengguna? Jangan-jangan dengan remisi bisa salah orang, yang mana peran bukan pengguna, tapi karena pintar dia bisa atur diri bisa jadi pengguna," tuturnya.

Sedangkan terhadap usulan justice collaborator (JC), Sulis melihat hal itu juga kurang efektif. Sebab, selama ini penyelidikan dan penangkapan selalu menggunakan sistem berbasis IT.

"Kalau JC, kita akan selektif berikan JC, karena hampir kasus yang ditangani BNN tidak ada tersangka dan terpidana yang sifatnya JC, karena proses penangkapannya menggunakan teknologi IT, sehingga kita tahu persis peran yang bersangkutan," pungkasnya.

Soal revisi PP 99/2012, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pihaknya saat ini tengah berupaya mengurangi kelebihan kapasitas di lapas. Salah satu solusinya dengan mengkaji anggaran rehabilitasi untuk pengguna narkotika di lapas.

"Kita mengurangi demand side, seperti pendidikan, bantuan masyarakat. Pendidikan itu penting. Rehabilitasi, jangan hanya artis yang direhab. Anggaran rehab harus kita pikirkan ulang. Dua tahun lalu kita alokasikan Rp 100 ribu, itu mahal. Tapi kalau tidak di-treat, lapas jadi lahan subur untuk permainan," ujar Yasonna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/4/2017).

"Bayangkan, kita punya 5 juta pemakai, ini survei. Ditangkap 10 persen berarti 500 ribu. Sekarang saja dengan kapasitas 220 ribu sudah mabok, sudah tidak manusiawi, sudah tidak bisa tidur, tidurnya giliran, berdiri, itu pun tidur jongkok. Kita tidak mampu terus-terusan membangun lapas karena biayanya mahal sekali," ujar Yasonna. (ed/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads