Kisah Pertapa Cari Ketenangan: Mbah Fanani Sampai Nenek Sitiani

Kisah Pertapa Cari Ketenangan: Mbah Fanani Sampai Nenek Sitiani

Hestiana Dharmastuti - detikNews
Senin, 17 Apr 2017 11:57 WIB
Kisah Pertapa Cari Ketenangan: Mbah Fanani Sampai Nenek Sitiani
Foto: Dokumentasi detikcom
Jakarta - Kisah para pertapa ini membuat heboh. Mbah Fanani, Mbah Sitiani dan Mbah Kijem puluhan tahun bertapa di tenda, 'istana' gua, dan hutan demi mencari ketenangan.

Terhangat, kisah Mbah Fanani yang telah 20 tahun bertapa di pinggir jalan Dieng, Wonosobo itu membuat geger masyarakat. Mbah Fanani hilang dari tempat pertapaannya setelah dijemput paksa belasan orang pada Rabu 12 April 2017. Ternyata pertapa itu kini berada di Indramayu. Dia dipindahkan oleh sekelompok orang dari Dieng karena diminta Abah Rojab.

Selain Mbah Fanani, ada kisah nenek pertapa yang juga membuat geger. Mbah Sitiani memilih bertapa di dalam hutan kecil nan rimbun di Situbondo, Jawa Timur. Sitiani mengaku bertapa karena hendak mensucikan diri lantaran ingin menjaga wali dan umat. Mbah Sitiani ingin bertapa selama 30 hari atas perintah alam semesta. Nenek Sitiani bahkan juga menyebut bumi dan laut dengan istilah 'Yang', serta langit dan matahari dengan istilah 'Papi'. Dia juga mengaku tidak akan pulang ke rumahnya setelah selesai bertapa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada juga Mbah Kijem yang demi tujuan spriritual dia memilih tinggal di dalam Gua Langse di Kabupaten Gunungkidul selama 48 tahun. Bagi Kijem, terjal dan curamnya perjalanan menuju Gua Langse bukan menjadi hambatan baginya untuk tetap tinggal di sini. "Hati saya rasanya tentram di sini. Sudah tidak ingin pulang lagi ke rumah Solo," tutur Kijem.


Berikut kisah para pertapa tua:

Mbah Fanani

Foto: istimewa

Mbah Fanani


Mbah Fanani, seorang petapa yang sudah 20 tahun bertapa di pinggir jalan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah hilang. Dia dijemput paksa oleh belasan orang pada Rabu, 12 April 2017 pekan lalu. Warga Dieng berharap Mbah Fanani dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.

Sejumlah warga yang sempat ditemui detikcom pada awal Juni 2014 lalu mengaku tak tahu pasti asal usul Mbah Fanani. Kabarnya dia berasal dari Cirebon, dan tak diketahui apa yang membuat dia memilih bertapa di Dieng.

Seorang warga bernama Slamet mengatakan, kemungkinan Mbah Fanani saat ini tengah menjalani topo ngrame (tapa ramai). "Tapa itu ada dua, tapa ramai tapa nyepi. Si Mbah ini mungkin mau tapa ramai, di pinggir jalan," terang Slamet kepada detikcom, awal Juni 2014 lalu.

Tapi Slamet pun angkat tangan tak tahu mengapa daerah Dieng yang menjadi tempat lokasi tapa si Mbah Fanani. Dahulu si Mbah ini bertapa di gua di kawasan Dieng namun kemudian dengan berjalan merangkak dia pindah ke depan rumah penduduk bernama Sugiyono di pinggir jalan Dieng yang menghubungkan Wonosobo dan Banjarnegara.

"Saya juga nggak tahu kenapa Mbah pilih di depan rumah saya," jelas Sugiyono yang akrab disapa Ono ini.

Saat diam di depan rumah Ono, 17 tahun lalu persis saat putranya lahir, Mbah Fanani tahu-tahu membawa plastik dan berdiam di depan rumah. Ono dan keluarga tak mengusir dan kemudian malah memberi makan.

"Makan pagi, siang, sama malam. Mbah maunya makan dari makanan dari rumah saya saja, dikasih orang lain nggak mau," terang dia.

Bila Anda melintas di pinggir jalan Dieng, melihat tenda biru di sanalah Mbah Fanani tinggal. Detikcom sempat bertemu si mbah di dalam tendanya. Tatap matanya tajam, kulit putih, dan rambut hitam bergelung. Tak ada kata-kata yang diucapkan si Mbah, dia hanya menggeleng atau mengangguk saja.

Konon kabarnya dahulu kala awal-awal datang ke Dieng si mbah masih suka berbicara. Dia kerap marah kala orang datang ke dia meminta nomor togel. Kemudian juga, si mbah pernah berucap akan selesai bertapa di Dieng bila ada datang kapal menjemputnya.

Mbah Fanani menghilang dari tempat 'bertapa' setelah dibawa pergi belasan orang.Mbah Fanani menghilang dari tempat 'bertapa' setelah dibawa pergi belasan orang. Foto: Mbah Fanani di Indramayu (dok Azun)



Pekan lalu, Mbah Fanani menghilang dari tempat 'bertapa'-nya, di sebuah tenda di pinggir jalan Dieng, Jawa Tengah. Dia dibawa pergi belasan orang dengan menggunakan mobil. Warga geger.

Kepala Desa Dieng Slamet Budiono membenarkan kejadian itu. Mbah Fanani dijemput belasan orang pada Rabu, 12 April 2017. Dan hingga kini, nasib Mbah Fanani tak diketahui. "Ada 10-15 orang datang pakai mobil, terus mengajak Mbah Fanani naik," kata Slamet.

Petapa di Pegunungan Dieng, Jateng, Mbah Fanani, kini berada di Indramayu. Dia dipindahkan oleh sekelompok orang dari Dieng karena diminta Abah Rojab. Azun Mauzun, yang ikut dalam penjemputan Mbah Fanani, mengatakan Abah Rojab dan Mbah Fanani sudah saling berkomunikasi lewat batin. Tujuh bulan lalu, Abah Rojab pernah mengontak Azun untuk memindahkan Mbah Fanani dari Dieng ke Indramayu.

Mbah Sitiani

Foto: Dokumentasi detikcom
Wanita tua yang ditemukan bertapa di hutan kecil Dusun Langai, Desa Sumberkolak, Kecamatan Panarukan, itu mengaku bernama Sitiani Sriwahyuningsih, asal Tegalsari Bondowoso.

Lokasi 'bertapa' sang nenek ini berada di pelosok Dusun Langai Desa Sumberkolak Kecamatan Panarukan. Dia duduk-duduk di kawasan rimbun, yang jaraknya hanya sekitar 15 meter dari jalanan setapak. Akses menuju kawasan itu juga tidak terlalu parah. Hanya beberapa ratus meter yang harus melewati jalanan menanjak dan berbatu. Tidak ada lampu penerangan menuju kawasan hutan kecil tersebut. Meski begitu, dari lokasi sang nenek bertapa terdapat sekitar 4 rumah warga, yang jaraknya sekitar 300 sampai 400 meter. Yang bikin heboh, karena sang nenek tak beranjak dari tempatnya. Yang bikin heboh, warga sempat mengira nenek pertapa itu adalah orang gila atau gelandangan, hingga lapor ke polisi.

Wanita yang mengaku tidak pernah menikah itu memilih bertapa karena terus didera dengan rasa amarah. Sitiani menganggap amarah itu adalah ujian hidupnya, hingga memutuskan untuk menyepi demi mensucikan diri. "Saya tahu kamu datang tidak memiliki niat jelek, makanya saya mau diajak bicara. Karena kalau kamu niatnya jelek dan saya mau bicara, maka badan saya akan sakit semua," katanya saat berbincang dengan detikcom, pada Rabu 9 September 2015.

Selama berkomunikasi, nenek Sitiani ternyata masih ingat dia datang ke hutan kecil Dusun Langai itu melewati jalur desa Kotakan Kecamatan Situbondo, sekitar 25 hari lalu.

Dari rumahnya di Tegalsari Bondowoso ke Desa Kotakan Sitiani mengaku menumpang MPU. Dia pergi tanpa pamit kepada keluarga dan kerabatnya. Karena itu, dia meminta agar keberadaannya dirahasiakan. "Saya tidak ingin keluarga dan kerabat saya tahu kalau saya ada di sini," tandas Sitiani.

Namun saat ditanya lebih jauh maksud dan tujuannya bertapa, pembicaraan sang nenek terkesan seperti ngelantur. Dia mengaku bertapa karena hendak mensucikan diri lantaran ingin menjaga wali dan umat. Sebab, kehidupan umat manusia dianggap masih dekat dengan hal-hal yang bersifat najis.

"Makanya saya tidak mau makan seperti kalian, karena yang kalian makan banyak najisnya. Sudah 14 tahun saya tidak makan nasi. Kalaupun makan paling banyak 3 sendok. Saya hanya minum air putih. Saya juga tidak ingin berbaur dengan keramaian karena ingin menjaga wali dan kalian," tuturnya.

Sang nenek juga mengatakan, jika dirinya bertapa selama 30 hari atas perintah alam semesta. Nenek Sitiani bahkan juga menyebut bumi dan laut dengan istilah 'Yang', serta langit dan matahari dengan istilah 'Papi'. Sang nenek juga mengaku tidak akan pulang ke rumahnya setelah selesai bertapa. "Saya akan pulang ke rumah wali, di Jawa Tengah. Kalian tidak akan tahu yang saya maksud," ujarnya.

Keberadaan nenek pertapa di hutan jati Dusun Langai, Desa Sumberkolak, Kecamatan Panarukan, ditanggapi berbeda oleh warga. Ada yang mencemaskan keselamatannya, ada pula warga yang justru memanfaatkan si nenek Sitiani. Sejak diketahui bertapa, ada beberapa warga yang datang menemui sang nenek untuk meminta angka nomor judi toto gelap (togel). "Memang ada beberapa warga yang meminta nomor togel ke nenek ini," kata Kepala Dusun Langai, Mulyadi kepada detikcom, Rabu (9/9/2015).

Meski begitu, si nenek Sitiani enggan memenuhi permintaan warga tersebut. Sebaliknya, setiap kali menerima permintaan itu Sitiani selalu memberi nasihat. Salah satunya, meminta warga agar tidak berjudi karena dilarang oleh agama. "Tidak pernah ngasih nomor togel, yang ada dia justru memberi nasihat kalau berjudi itu tidak boleh," sambung Mulyadi.

Mbah Sakijem

Foto: Sukma Indah P/detikcom
Sebuah gua yang dinamai warga sekitar Gua Langse di Kabupaten Gunungkidul berada di tengah tebing menghadap langsung ke pantai selatan. Lokasinya yang berada di mulut tebing membuat tak sembarang orang berani ke sana. Bahkan tak semua warga sekitar berani mendatangi gua tersebut karena medannya yang curam tanpa pengaman yang memadai.

Namun di tengah segala keterbatasan itu, hidup seorang nenek tua yang telah tinggal di gua itu selama 48 tahun.

"Iya, sejak tahun 1968 saya sudah di sini. Tidak ada rasa ingin kembali ke rumah," ujar wanita sepuh bernama Sakijem (62). Hal ini diceritakan Sakijem dalam bahasa Jawa Krama Inggil saat detikcom berkunjung ke Gua Langse pada awal Oktober 2016 lalu.

Gua ini terletak di Dusun Gabuk, Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gua ini bisa ditempuh selama 15 menit perjalanan dari Pantai Parangtritis, Bantul dengan kendaraan bermotor. Jalannya yang menanjak curam harus dilalui dengan sangat hati-hati. Dari tempat parkir kendaraan, pengunjung harus berjalan kaki menuju pinggir tebing sejauh kira-kira 500 meter melewati hutan jati.

Mbah Sakijem tinggal di dalam gua selama 48 tahun.Mbah Sakijem tinggal di dalam gua untuk tujuan spiritual selama 48 tahun. Foto: Sukma Indah P/detikcom



Begitu menemui beberapa bongkah batuan besar, artinya pengunjung sudah berada di 'pintu gerbang' Gua Langse. Melalui sela-sela batuan itu, perjalanan menuruni tebing dimulai. Beberapa kali sisi tebing yang bidangnya vertikal, telah dipasangi tangga kayu. Terdapat 10 tangga kayu yang dipasang di sepanjang jalur menuju Gua Langse.

Tak sepanjang jalur bisa dipasangi tangga kayu. Beberapa jalurnya pengunjung harus menyusuri tepian tebing yang lebarnya hanya sekitar 50 cm dan tepinya jurang pantai laut selatan. Perjalanan sejauh kira-kira 300 meter ditempuh kira-kira 1 jam bagi pemula yang baru pertama kali menyusuri jalur ini.

Tak banyak wisatawan yang datang ke sini. Hampir semua pengunjungnya datang untuk tujuan spiritual. Gua ini menjadi tempat pertapaan yang dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi bagi beberapa orang. Saat bulan Suro dalam penanggalan tiba, berbondong-bondong orang akan datang ke gua ini untuk melakukan berbagai kegiatan mulai dari bertapa hingga ritual.

Kembali soal Sakijem, dia adalah salah seorang yang datang ke gua ini untuk tujuan spiritual. Pada tahun 1968, saat pertama kali wanita yang akrab disapa mbah Kijem ini mulai tinggal di sini, tak ada orang yang mau mendatangi gua ini.

Dia merasa tentram dan enggan pulang.Dia merasa tentram dan enggan pulang. Foto: Sukma Indah P/detikcom



Sebab aksesnya yang ekstrem memang tak sembarangan orang bisa melaluinya. Namun kata Kijem, saat ini sudah jauh lebih mudah dilalui dibanding saat dia datang pertama kalinya. "Dulu saya ke sini jalannya hanya pegangan akar-akar pohon saja," tutur Kijem.

Di dalam gua yang lebar mulutnya sekitar 5 meter ini, Kijem tinggal sendirian bersama seekor anjing yang dinamakan Bambang. Di sisi kiri mulut gua, Kijem menata beberapa meja dan sebuah lemari kayu untuk tempatnya memasak. "Saya di sini bisa masak apa saja. Melayani yang datang ke sini," imbuhnya.

Begitu masuk ke dalam gua, ada tangga menurun yang sudah tertata rapi menuju ke sebuah ruang yang lebih luas lagi. Di tempat ini lah, kerap para petapa berdiam diri untuk beberapa waktu. Sedangkan di sisi kiri ruangan tersebut, terdapat rongga memanjang yang biasa digunakan Kijem tidur setiap harinya. Tak ada kasur di sana, yang ada hanya hamparan dua lapir tikar dan beberapa barang kebutuhannya.

Kebutuhan airnya baru bisa didapatkan Kijem pada sekitar tahun 2000 yang lalu. Setelah Paguyugan Puromo Sidi memasang pipa air menuju sebuah bagunan pertapaan di sisi timur Gua Langse. "Kalau dulu ya angkut air dari atas atau air hujan saja," cerita Kijem sambil tersenyum.

Bagi Kijem, terjal dan curamnya perjalanan menuju Gua Langse bukan menjadi hambatan baginya untuk tetap tinggal di sini. "Hati saya rasanya tentram di sini. Sudah tidak ingin pulang lagi ke rumah Solo," tutur Kijem.

Halaman 2 dari 4
(aan/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads