Salah seorang mama telah selesai menggelar dagangan. Ada labu, wortel, daun bawang, kentang, kacang merah, jahe, dan sebagainya, sayur-mayur yang lumrah ditemui di pasar tradisional. Mama itu bernama Riceh Ani.
Dia menunjukkan kentang jualannya. Ukurannya kecil-kecil seperti bola bekel. "Kentang ini lebih enak. Kalau yang besar-besar itu dari Manggarai, pakai pupuk, tidak enak," kata Rinceh di pasar yang terletak di Kelurahan Lidak, Atambua Selatan, Kabupaten Belu ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita pakai tanah subur, tidak pakai pupuk. Kalau pakai pupuk malah tidak bagus," kata Rinceh.
![]() |
"Saya dari Fatumnasi, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan. Anda tahu Gunung Mutis? Saya tinggal dekat Gunung Mutis, sudah," kata Rinceh.
Gunung Mutis adalah gunung tertinggi di Nusa Tenggara Timor. Tingginya 2.427 meter. Kurang lebih jarak antara Mollo Utara ke Atambua adalah 150 km. Belum lagi ditambah jalan masuk ke desa-desa. Rinceh Ani dan suaminya, Martinus Banu (58) menempuh jarak itu setiap Minggu untuk berjualan di Pasar Lolowa ini.
![]() |
"Dari desa ke Soe (Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Selatan) jalannya rusak, omang-ambing terus," tuturnya.
Dia bilang, kondisi aspal menuju desanya sudah rusak. Terakhir diaspal seingatnya pada dekade '80-an. Setelah itu belum ada lagi perbaikan.
"Tahun lalu ada yang survei dari pemerintah, tapi sampai sekarang belum dibangun jalannya," tuturnya soal jalan ke desanya.
![]() |
Cukup mahal untuk sekadar biaya perjalanan. Kenapa tidak berdagang di pasar dekat rumahnya saja? Ada alasan yang dikemukakannya.
"Di sana hasil sayur-mayur terlalu banyak, jadi kita jualan untungnya kurang bagus, harga juga murah. Di sini, harga wortel bisa lima kali lipat, harga labu dua kali lipat, daun bawang dua kali lipat," tuturnya.
Dia hanya membayar uang Rp 4.000 per hari untuk jualan di Pasar Lolowa ini. Di sini, wortel dijualnya Rp 25 ribu per 1 kg. Labu dijual Rp 5.000 per empat buah, kentang Rp 10 ribu per setengah kg, daun bawang Rp 5.000 seikat. Keuntungan bersih, sudah dipotong biaya perjalanan dan tetek bengek, didapatnya Rp 2,5 juta per pekan dari pasar ini saja.
Toh perempuan kelahiran 1964 ini bukan hanya sekadar punya bisnis di lapak ini. Dia dan keluarga memang berkonsentrasi untuk bertani. Dia punya empat anak dan tiga cucu. Anak-anaknya juga berkebun.
Satu hektare kebun miliknya menghasilkan sayur mayur yang dijual tak hanya ke Pasar Lolowa. Dia juga punya langganan di Pasar Atambua dekat pusat kota, Kupang, hingga Pulau Rote.
"Semua diangkut menggunakan pikap," ujarnya.
Untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, para langganan, sampai sopir pikap, dia lakukan dengan menggunakan ponsel biasa.
"Saat keluar keluar kampung, oper hasil, bicara dengan langganan biar barang diambil, ya pakai hape. Telepon-telepon pakai Telkomsel," tuturnya.
Simak terus cerita-cerita dari kawasan terdepan Indonesia di Tapal Batas detikcom. (dnu/tor)