Beda Sikap Pimpinan DPR soal Pencekalan Novanto

Beda Sikap Pimpinan DPR soal Pencekalan Novanto

Elza Astari Retaduari - detikNews
Kamis, 13 Apr 2017 13:33 WIB
Foto: Lamhot Aritonang/detikcom
Jakarta - Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat berencana mengirimkan nota keberatan perihal pencekalan Ketua DPR Setya Novanto kepada Presiden Joko Widodo. Ketua Umum Partai Golkar itu dicekal terkait dengan posisinya sebagai saksi dalam dugaan kasus korupsi e-KTP. Empat Wakil Ketua DPR berbeda dalam menyikapi surat pencekalan terhadap Novanto tersebut.

Pada Selasa (11/4/2017) malam atau satu hari setelah surat pencekalan terhadap Novanto dikeluarkan, dua Wakil Ketua DPR, yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon, mengumumkan bahwa ada rapat pengganti Badan Musyawarah. Rapat tersebut, salah satunya, membahas pencekalan terhadap Novanto.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan rapat Bamus digelar untuk menindaklanjuti surat aspirasi dari Fraksi Partai Golkar. Dalam suratnya, Fraksi Partai Golkar menyatakan keberatan atas pencekalan Novanto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Guna menindaklanjuti hasil rapat, DPR sepakat akan mengirimkan surat keberatan kepada Presiden Jokowi. "Hak cekal di Dirjen Imigrasi. Kita nggak ada hubungan dengan KPK, kita makanya surati Presiden," kata Fahri saat jumpa pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/4) malam.

Keberatan diajukan karena pencekalan Novanto oleh KPK dinilai menghambat kinerja DPR. Fahri mengatakan Novanto sebenarnya sangat kooperatif saat diperiksa KPK soal kasus e-KTP. Fahri juga menyebut pencekalan Novanto bertentangan dengan putusan MK. Dia sempat menyinggung adanya hak imunitas anggota DPR.

"Ini mencoreng nama Indonesia dan DPR dalam diplomasi internasional. Kalau pengajuan pencekalan terhadap Kemenkumham, Ditjen Imigrasi, sekadar memudahkan pemeriksaan, Ketua DPR paling kooperatif diperiksa KPK. Perlu dicatat, pencegahan dapat mengganggu kerja kelembagaan dan memperburuk citra DPR. Tidak hanya di dalam, namun juga di luar negeri. Dengan cekal, Novanto tidak bisa pergi," kata Fahri.

"DPR dalam konstitusi diatur imunitasnya. Perlu diketahui, pasal imunitas tidak pernah dibatalkan dalam konstitusi negara. Implementasi, belum ada pengaturan teknis, kalau negara maju, anggota DPR tak bisa diproses hukum. Pemaknaan hak-hak imunitas diperkuat," tuturnya.

Fahri bahkan mempermasalahkan rencana Novanto yang akan tertunda akibat adanya pencekalan. Dia menyebut Novanto memiliki agenda ke Turki pada 21 April nanti, bahkan ada rencana pergi ke Arab Saudi untuk membalas kunjungan kenegaraan Raja Salman.

Sikap yang berbeda ditunjukkan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Dia mengaku tidak hadir dalam rapat Bamus karena digelar mendadak. Agus juga mengaku tidak mengerti mengapa rapat digelar mendadak. Dia juga tidak setuju anggapan Fahri yang menyebut pencekalan Novanto dapat mengganggu kinerja DPR.

Agus mengatakan kinerja pimpinan DPR bersifat kolektif kolegial. Dengan demikian, menurut politikus Demokrat itu, pencekalan Novanto tersebut tidak menimbulkan masalah.

"Ketua, dalam hal ini pimpinan DPR, itu adalah sifatnya kolektif kolegial. Siapa pun yang hadir itu sudah mewakili. Kalau memang ketua nggak hadir, wakil ketua punya kewenangan untuk hadir. Bisa (Ketua DPR diwakilkan), nggak ada masalah," tutur Agus di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/4).

Hampir senada dengan Agus, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan tidak menunjukkan 'pembelaan' untuk Novanto, seperti yang diperlihatkan Fahri dan Fadli. Walau datang dalam rapat Bamus, Taufik tidak ikut bersama Fahri dan Fadli saat konferensi pers mengenai nota keberatan tersebut.

"Sifatnya rapat perlu kita sampaikan untuk merespons surat resmi dari Fraksi Golkar terhadap pencekalan Pak Setya Novanto. Disepakati juga empati menjadi salah satu catatan, sifatnya memberikan dukungan moril pada Fraksi Partai Golkar soal pencekalan Pak Setya Novanto. Kalau masalah nota keberatan itu hanya redaksional, tertulisnya," ucap Taufik, Rabu (12/4).

Taufik memastikan DPR tidak meminta agar pencekalan Novanto oleh KPK dicabut. Menurutnya, semua fraksi di DPR memahami tak ada yang bisa mengintervensi proses hukum, termasuk kepada Presiden. Pimpinan fraksi dalam rapat itu hanya memutuskan perlu menunjukkan solidaritas kepada Fraksi Golkar terkait dengan pencekalan Novanto.

"Bukan dalam konteks meminta untuk dicabut, fraksi tahu semua yuridis tidak bisa dicampuri. Tapi ini jadi perhatian khusus. Kita paham semua tidak bisa mengintervensi. Kita sadar kita tidak bisa mengintervensi. Pak Novanto juga ngomong seperti itu. Menghormati koridor yang sama," tutur Taufik.

"Masak sekelas DPR tidak mengerti dan mau mendesak presiden, kan tidak mungkin," ujar politikus PAN itu.

Dengan adanya pencekalan kepada pimpinan, Taufik mengatakan secara objektif memang ada ketidaknyamanan. Namun bukan berarti tugas-tugas DPR tidak bisa berjalan. Sebab, di Dewan, itu bersifat kolektif kolegial.

"Saya tidak bisa mengatakan itu mengganggu atau tidak. Tapi dalam tatib, pimpinan di seluruh alat kelengkapan Dewan (AKD), itu kan ada komisi, badan, pimpinan DPR sendiri, sifat AKD itu kolektif kolegial. Sepanjang proses itu berjalan dan berjalan dengan baik, itu tentu semuanya bisa berjalan," kata Taufik.

Tugas-tugas yang tidak bisa dikerjakan ketua pun, disebutnya, sudah biasa didelegasikan kepada pimpinan lain. Apalagi tiap pimpinan sudah memiliki bidang sendiri-sendiri.

"Di luar kasus yang berkembang, saat rapat paripurna kita mimpin juga gantian. Pimpinan DPR ada pembidangan, kayak Pak Fahri di Kesra, saya bidang koordinator ekonomi, Pak Agus Hermanto bidang industri dan pembangunan, Fadli Korpolkam. Ketua itu koordinator," ucapnya.

Meski begitu, Taufik membenarkan DPR meminta waktu untuk menggelar rapat konsultasi dengan Presiden Joko Widodo. Rapat konsultasi sebenarnya kegiatan rutin antara pimpinan DPR dan Jokowi. Namun, dia menyatakan, dalam kesempatan itu, DPR akan menyinggung mengenai masalah pencekalan Novanto sebagai bentuk dukungan moral.

"Untuk menjelaskan lebih lanjut soal redaksional, diusulkan agar dilaksanakan rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan Presiden. Tujuannya bukan untuk intervensi pengadilan. Itu permintaan teman-teman pimpinan fraksi," ujar Taufik.

"Katakanlah solusi istilahnya itu membahas politik kekinian, dengan menyampaikan terkait nota keberatan Fraksi Partai Golkar, tapi dalam bentuk dukungan moril ya, tidak ada urusan dengan intervensi hukum," ujar dia.

Perbedaan sikap pimpinan DPR ini cukup menarik perhatian. Banyak pihak, termasuk para pakar, mengkritik sikap Fahri, yang terkesan membela Novanto. Mereka mengatakan hak imunitas terhadap anggota Dewan tidak berlaku apabila terkait dengan masalah pidana. Bahkan kritik itu datang dari sejumlah anggota Dewan. (ear/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads