MK Diminta Hapus UU Penggusuran

MK Diminta Hapus UU Penggusuran

Heldania Ultri Lubis - detikNews
Jumat, 07 Apr 2017 14:23 WIB
MK Diminta Hapus UU Penggusuran
Ilustrasi (dok.detikcom)
Jakarta - Korban penggusuran meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU Penggusuran. UU Nomor 51 PRP Tahun 1960 dinilai sudah tak relevan lagi.

"UU Nomor 51 PRP tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, ini sudah tidak relevan lagi, karena UU ini dikeluarkan dalam konteks ketika Indonesia dalam bahaya," ujar kuasa hukum lembaga bantuan hukum (LBH) Alldo Fellix Januardy dalam jumpa pers yang berlangsung di kantor LBH, Jalan Diponogoro, Jakarta Pusat, Jumat (7/4/2017).

Korban penggusuran yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran Paksa ini telah mengajukan gugatan terhadap UU itu ke MK. Mereka meminta MK untuk membatalkan pasal 2, 3, 4 dan 6 UU Nomor 51 PRP Tahun 1960.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alldo mengatakan UU tersebut dibuat ketika Indonesia mengalami konflik yang mengakibatkan pihak militer memerlukan tanah untuk pertahanan.

"Tapi UU itu tidak pernah dicabut sampai hari ini. Sekarang malah digunakan untuk menggusur warga yang ada di berbagai wilayah, padahal situasinya sudah damai," kata Alldo.

Alldo juga menyampaikan bahwa UU Penggusuran tersebut tidak adil dari segi kepastian hukum. Dia mengatakan yang terjadi di lapangan adalah warga dimintai sertifikat, namun pemerintah tidak diwajibkan untuk memberikan sertifikatnya.

"Pemerintah itu menurut UU Pokok Agraria dan UU Perbendaharaan Negara wajib mensertifikatkan asetnya berupa tanah. Tapi diakui oleh Pemprov dari berbagai daerah bahwa mereka tidak mempunyai sertifikat dalam kasus penggusuran paksa, namun kasus penggusuran tetap dilakukan," jelasnya.

Alldo mengatakan bahwa hal tersebut menyulitkan warga serta telah melanggar asas kepastian hukum karena ada kasus di mana warga memenangkan perkara namun rumah mereka sudah terlanjur digusur. Dia menyebut warga yang digusur itu sudah lama berdomisili di tanah yang diklaim oleh perusahaan yang tidak memiliki sertifikat, sehingga merugikan warga.

"Nah harapannya MK melihat UU ini banyak masalah di lapangan dan pasti ada pelanggaran hak konstitusional berdasarkan UUD 1945. Hak atas tempat tinggal, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, anak anak-anak biasanya penggusuran tidak melihat tahun ajaran mau masih sekolah tetap digusur. Maka diharapkan MK bisa menangkap hal tersebut sehingga membatalkan pasal penggusuran," tuturnya.

Alldo lebih lanjut menjelaskan bahwa jika nanti MK memutuskan pasal penggusuran dihapuskan, namun kemudian pemerintah tetap ingin melakukan relokasi untuk kepentingan umum, maka hal itu bisa dilakukan. Hal itu, menurut Alldo, karena pada tahun 2005 pemerintah sudah punya ratifikasi kovenan internasional HAM, ekonomi, sosial budaya yang mengandung prosedur cara melakukan relokasi bagi masyarakat berdampak pembangunan dengan manusiawi.

"Harus musyawarah, harus dijamin kepastian hukumnya, artinya sertifikat harus diuji dulu di pengadilan. Tidak boleh ada kekerasan apalagi kalau ada TNI, Polri atau Satpol PP memukul orang seperti yang terjadi. Lalu, warga kalau ingin menuntut bantuan hukum pemerintah harus menjamin warga memiliki kuasa hukum," katanya.

Alldo menyebut banyak kasus terutama yang terjadi di Jakarta setiap tahun pasti ada warga yang mengalami luka-luka saat dilakukan penggusuran. Dia menyebut bahwa tindakan pemerintah yang menggusur secara paksa, petugas satpol PP yang sering kali menghancurkan dagangan PKL tanpa adanya kompensasi dari pemerintah menambah masalah baru bagi warga.

"Makanya kita mendorong pemerintah terutama sekarang kuncinya dipegang oleh MK. Agar MK menyadari bahwa ini bukan hanya sekedar desakan korban, tapi ini merupakan kepentingan yang dibutuhkan negara ini secara umum. Karena jangan sampai pemerintah menyelesaikan masalah dengan masalah," tutupnya. (asp/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads