"Tujuan rapat akbar ini, kita ingin mengingatkan kembali kepada pemerintah bahwa di Tanjung Priok ini ada permasalahan besar yang belum selesai. Dimulai dari tahun 2014, dengan adanya perpanjangan kontrak PT JICT yang diindikasikan melanggar hukum, merugikan keuangan negara, dan bisa merugikan perusahaan," kata Firmansyah di halaman kantor JICT di Jalan Sulawesi Ujung No 1, Tanjung Priok, Koja, Jakarta Utara, Kamis (6/4/2017).
Menurutnya, penyegelan dilakukan karena direksi JICT tidak dapat mengatasi konflik yang ada di dalam perusahaan. Maka ribuan pekerja JICT juga menandatangani mosi tidak percaya kepada pihak direksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
JICT merupakan perusahaan gabungan Pelindo II (International Port Corporation II) dengan Hutchinson Port Holding. Firmansyah mengatakan SP JICT menolak perpanjangan kontrak dengan Hutchinson, yang menurutnya ilegal.
"Pansus Pelindo dalam sidangnya menyatakan bahwa proses ini diindikasikan melanggar hukum. Menteri BUMN dalam sidang tersebut menyampaikan, proses perpanjangan kontrak JICT belum dapat dilaksanakan jika syarat-syaratnya belum dipenuhi. Sebagaimana tertuang dalam surat tanggal 9 Juli 2015," ujarnya.
![]() |
Ia menambahkan, hal serupa dinyatakan oleh pihak Kementerian Perhubungan. Menurutnya, perpanjangan kontrak JICT belum dapat dilaksanakan dan batal demi hukum karena kesepakatan itu baru ditandatangani setelah proses penandatanganan kontrak antara IPC dan Hutchinson Port Holding.
Saat ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tengah melakukan audit investigasi. Meski begitu, ongkos sewa masih harus terus dibayarkan kepada pihak holding.
"Saat ini, walaupun audit investigasi BPK masih berjalan, namun rental cost sebagai bagian dari perpanjangan itu masih dijalankan. Ini artinya, Pelindo II atau IPC dan direksi JICT dan Hutchinson Port Holding tidak taat pada peraturan. Memaksakan hal yang masih ilegal," ungkapnya.
![]() |
Firmansyah mengatakan, selama ini keuntungan dari JICT dipakai untuk membayar bunga dari utang Pelindo II. Hal ini sudah masuk ke dalam klausul perpanjangan kontrak tersebut.
"Itu (USD 85 juta), dalam kontrak itu yang ada dalam klausul kontrak. Itu hanya dilakukan untuk membayar bunga global bond. Sementara utang global bond senilai Rp 21 triliun masih mengendap di Pelindo. Jadi dia pinjam uang untuk biayai proyek. Tapi proyek tidak berjalan. Sementara bunga kan jalan terus. Nah, bunganya ini senilai Rp 1,2 triliun per tahun. Untuk membayar bunga itu, diambil dari JICT melalui perpanjangan kontrak yang tadi dipaksakan," kata dia.
Firmansyah mengatakan hal ini berdampak terhadap permasalahan industrial di Tanjung Priok. Direksi JICT bersama Pelindo II sebagai perusahaan induk cenderung mengabaikan hak-hak pekerja. Saat ini ditemukan adanya perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlarut, insentif kinerja diingkari, dan hak pekerja dipotong sampai 40 persen karena uang sewa yang dipaksakan akibat perpanjangan JICT.
"Padahal, jika dikelola sendiri oleh Indonesia, manfaat JICT jauh lebih besar, baik bagi Pelindo II maupun bagi negara," ucapnya.
Dalam kondisi itu, SP JICT, yang terus mengkritisi kebijakan ini, menurut Firmansyah, mendapatkan tekanan dari pihak perusahaan. Pihak perusahaan terus mengeluarkan surat peringatan hingga surat pemecatan secara sepihak.
"Berbagai SP dan surat pemecatan sepihak dilakukan. Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap pekerja dan SP. Kami sampaikan, kami akan tetap bergerak. Kami akan tetap berjuang untuk melakukan proses pembatalan kontrak ini," tuturnya.
Pihak SP JICT berencana menggelar aksi industrial alias mogok bekerja besar-besaran dalam waktu dekat. Menurutnya, jika aksi tersebut dijalankan, kerugiannya dapat mencapai miliaran rupiah dalam sehari. (jbr/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini