Keprihatinan Alumni atas Pembunuhan Kresna Siswa SMA Taruna Nusantara

Keprihatinan Alumni atas Pembunuhan Kresna Siswa SMA Taruna Nusantara

Mei Amelia R - detikNews
Senin, 03 Apr 2017 17:59 WIB
Foto: Ilustrasi Fuad Hasyim
Jakarta - Kematian Kresna Wahyu Nurachmad (15), siswa SMA Taruna Nusantara (TN) yang tewas dibunuh temannya, AMR (16), menimbulkan duka mendalam bagi para alumni. Alumni SMA TN menyatakan keprihatinannya atas kejadian yang terjadi di dalam graha.

"Saya pribadi dan seluruh alumni sangat bersedih dan prihatin, karena ini adik kita angkatan ke-27. Ini adalah bentuk pembunuhan, bukan kekerasan fisik di dalam taruna sebagai ekses dari sebuah kehidupan berasrama. Dan ini bisa terjadi di mana saja dan terhadap siapa saja," ujar Agung Wicaksono, alumni angkatan ke-3 SMA Taruna Nusantara kepada detikcom, Senin (3/4/2017).

Sebagai alumni yang pernah mengenyam pendidikan di SMA Taruna Nusantara, Agung Wicaksono memahami betul kondisi di graha (barak para taruna). Selama menjadi taruna, Agung menegaskan tidak pernah ada bentuk kekerasan fisik maupun bullying oleh senior maupun pamong (guru).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita memang dididik dengan disiplin bahwa seniornya punya hak dan tanggung jawab untuk mengasuh dan membina adik-adiknya, tapi tidak dalam bentuk kekerasan fisik. Kami tidak pernah sekali pun mengalami kekerasan fisik," ungkap Agung yang saat ini menjabat sebagai Direktur Operasional MRT.

Adapun tempaan fisik seperti berolahraga untuk membentuk kedisiplinan adalah hal yang sangat wajar. Namun pihak sekolah sangat tegas bagi taruna senior yang melakukan kekerasan terhadap juniornya.

"Sekolah tegas menegakkan aturannya dan bagi yang melakukan kekerasan dikeluarkan. Ada satu cerita yang dikeluarkan karena melakukan kekerasan fisik," terang alumni tahun '95 itu.

Pembunuhan keji dalam kehidupan berasrama yang diawasi dengan ketat selama 24 jam tentu merupakan tamparan keras bagi seluruh keluarga besar SMA Taruna Nusantara. Sebab, para taruna tidur di dalam graha-yang paling tidak isinya 30-an- hanya dibatasi lemari dan meja belajar demikian rapat dan erat.

Para pamong pengajar pengasuh juga tinggal di kompleks dalam lingkungan yang sama dan setiap saat standby untuk membimbing siswa. "Bahkan, ada pula namanya Pamong Graha, yang kebanyakan adalah para purnawirawan tentara, yang siap sedia memantau secara berkala kehidupan berasrama para siswa," lanjut dia.

Dengan adanya peristiwa lalu itu, menimbulkan pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan tatanan kehidupan berasrama yang penuh asah, asih dan asuh sekarang? Bagaimanakah suasananya sehingga memungkinkan bagi munculnya sebuah pikiran jahat dan bahkan mengeksekusinya di dalam graha?

"Dengan segala hormat kepada para Pamong yang telah ikut membesarkan dan mendidik saya, ini saatnya kita mengecam keras dan mengevaluasi tuntas atas kesalahan sistemik apa yang secara mendasar sedang dialami oleh SMA Taruna Nusantara. Tak boleh lagi ada pihak yang bisa mengelak, bahwa kondisi SMA ini menurun drastis hingga--mudah-mudahan dengan demikian--ada pada titik nadirnya. Karena titik nadirlah momentum untuk berbalik arah kembali ke atas dan bukannya terus terjerembab dalam kehancuran," paparnya.

Agung juga menyoroti proses seleksi calon taruna di SMA Taruna Nusantara. Berbeda dengan pada zamannya, menurutnya SMA Taruna Nusantara--yang kini berbayar--tidak lagi menjamin standar kualitas taruna.

"Angkatan pertama di tahun 1990 hingga angkatan yang lulus di tahun 2004 adalah angkatan "TN Gratis". Tanpa bermaksud mendikotomikan antara angkatan "TN Gratis" dan "TN Bayar", tak pelak bahwa pada periode itulah mulai terjadi perubahan drastis pada SMA ini. "TN Bayar" tentu banyak yang baik dan berhasil. "TN Gratis" pun tak sepenuhnya semua sukses dan baik," jelasnya.

Menurutnya, sebuah sistem akan berjalan dengan baik apabila ada 'input-proses-output'. Untuk mendukung hal itu, menurutnya lagi, SMA Taruna Nusantara haris menghilangkan 'intervensi' pihak-pihak tertentu demi mencapai kualitas taruna yang unggul.

"Ketiadaan atau paling tidak minimnya intervensi terhadap mekanisme seleksi yang ada. Para founding father SMA TN dulu sungguh bijak untuk tidak berbondong-bondong menitipkan kepentingan pribadi atau keluarga atau koleganya untuk menikmati pendidikan di sana," lanjutnya.

Hal senada diutarakan oleh David Ratadhi, alumni SMA TN angkatan ke-3. Proses seleksi calon taruna menjadi kunci dalam menghasilkan taruna yang berkualitas.

"Sehingga panitia penerimaan jangan lagi menerima siswa yang tidak memenuhi syarat khususnya akademis dan kesehatan jiwa hanya karena uang, sponsor atau tekanan pejabat tinggi militer, kepolisian maupun sipil bahkan alumni sekalipun. Ingat SMA TN bukan sekolah untuk menitipkan anak anda, apalagi yang bermasalah, karena kesibukan orang tua atau alasan lainnya," jelas David.

David mengatakan, orang tua juga merupakan bagian dari sistem pendidikan di TN yang menganut tri pusat pendidikan, yaitu orang tua, SMA TN dan masyarakat. "Namun kita berharap selama 3 tahun di TN adik-adik dapat memaknai kehidupan bersama seluruh siswa dari berbagai latar belakang, agama, suku, keluarga, ekonomi, untuk mempersiapkan diri menjadi agen perubahan di masa datang," lanjut David.

Untuk diketahui, SMA TN didirikan melalui kerjasama ABRI dan Taman Siswa, melalui penggabungan wawasan kejuangan dan kebudayaan, serta wawasan kebangsaan. "Sehingga SMA TN bukan hanya milik TNI sebagai ayah, tapi juga Taman Siswa sebagai ibu. Oleh sebab itu disiplin di TN seharusnya bukan hanya diwarnai oleh militer atau kejuangan dari TNI tapi juga diwarnai dengan atmosfer pawiyatan warisan Taman Siswa," sambung David.

David menilai, sistem pengasuhan dari para pamong sangatlah penting dalam membentuk karakter siswa. Dengan adanya insiden tersebut, David berharap agar alumni dapat mulai dilibatkan kembali sebagai role model bagi siswa melalui peran sebagai pamong maupun pengasuh.

Halaman 2 dari 2
(mei/trw)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads