"KLHS itu fokusnya pada lingkungan, dalam hal ini adalah sisi negatif yang bisa terjadi di sebuah rentang alam. Bagaimana dengan sisi sosialnya? Itu tidak dibicarakan secara sistematis dan tajam dalam KLHS," kata peneliti School of Democratic Economic, Hendro Santoyo, dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Sabtu (1/4/2017).
Menurut Hendro, hak-hak masyarakat harus diperhatikan. Begitu juga soal sejarah sosial yang tak bisa dikesampingkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada disampaikan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto. Menurutnya, reaksi penolakan dari para petani tak boleh diabaikan.
![]() |
"Kita harus melihat persoalan ini secara akademik dan komprehensif sehingga kita bisa dapat gambaran yang mendalam. Seharusnya kita melihat bagaimana kawan-kawan yang menyemen kaki, menunjukkan bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungan hidup," ucapnya.
Masyarakat dalam kebudayaan, menurut Sulistyowati, sangat bergantung pada tanah mereka. Karena itu, masyarakat adat tidak bisa terpisahkan dari tanah yang mereka tempati.
"Saya juga mau melihat dalam ruang sistem hukum itu ada hukum adat, masyarakat tidak bisa hidup tanpa tanahnya. Kalau mencerabut mereka dari tanahnya, itu berarti menghilangkan mereka," tuturnya.
Sebelumnya Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK San Afri Awang mengatakan tim tengah melakukan pengecekan di lapangan, termasuk keberadaan sungai di bawah tanah. Hasil KLHS ini disebut bisa menjadi acuan izin penggunaan lingkungan. (fdn/fdn)