"Manusia yang boleh ditangkap ada jenisnya. Orang ketangkap mencuri, membunuh, misalnya. Tapi, kalau orang dituduh mengkritik pemerintah, pasal makar mengkritik pemerintah sudah hilang," ucap Fahri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (31/3/2017).
Menurut Fahri, meskipun ada indikasi seseorang akan melakukan kejahatan, harus ada bukti permulaan. Setelah itu, masih ada tahapan-tahapan sebelum orang itu ditangkap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Fahri menyebut ada kondisi khusus yang memperbolehkan polisi melakukan penangkapan.
"Kecuali kalau dia bawa parang, senjata, ditembak ke atas, (omong), 'Saya mau pergi bunuh presiden', dilumpuhkan boleh," sebutnya.
Fahri pun akan sangat sedih jika penangkapan Al-Khaththath hanya untuk menakut-nakuti sehingga aksi 313 urung dilaksanakan. Polisi pun, disebut Fahri, harus membuktikan bahwa yang bersangkutan benar berniat makar.
"Yang ditangkap cuma untuk diajak nego, nanti dilepas juga. Itu rezim operasi intelijen dulu begitu nggak ada. Diculik, dimaki-maki, disiram air kepalanya, atau dijepit kakinya pakai kaki meja. Sekarang nggak ada lagi begituan," ujar dia.
"Polisi berkewajiban menjelaskan. Semua lembaga negara yang menggunakan kekuasaan, bahkan memiliki kemampuan memaksa seperti penegak hukum, harus bisa menjelaskan kepada masyarakat apa yang dia lakukan," imbuhnya.
Seperti diketahui, Al-Khaththath ditangkap di kamar 123 Hotel Kempinski, Bundaran HI, Jakarta Pusat. Dia ditangkap karena diduga akan melakukan mufakat jahat, yakni makar. (gbr/imk)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 