"Salah satu yang terpengaruh dan mengikuti jejak Pak Tjokro itu adalah Sukarno. Sebelumnya dia mengenakan blangkon tapi kemudian menggantinya dengan kopiah seperti Tjokro. Kopiah lantas tak lagi menjadi monopoli kalangan santri tapi sudah menasional," tulis Abdul Mun'im DZ dalam buku "Fragmen Sejarah NU, Menyambung Akar Budaya Nusantara" yang diterbitkan Pustaka Compass. Kopiah biasa dikenal dengan sebutan peci.
Sejarah mencatat, Sukarno yang pernah mondok di kediaman Tjokro bersama Muso dan RM Kartosuwirjo lantas menikahi salah satu putrinya, Siti Utari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika Mohammad Hatta sebagai wakil Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, 27 Desember 1949 tampil tanpa kopiah, dia menjadi gunjingan para aktivis kala itu. Mereka menilai, Hatta telah alpa untuk menampilkan ciri khas keindonesiaan yang diharapkan bisa memberi garis tegas antara nasionalisme dan kolonialisme.
Dalam perkembangannya hingga sekarang, menurut Mun'im, kopiah menjadi identitas nasional yang dikenakan oleh segenap warga bangsanya. Tak cuma kalangan muslim tapi nonmuslim pun wajib mengenakannya di acara-acara resmi yang membawa simbol kebangsaan. "Dulu para atlet olah raga yang akan bertanding di luar negeri itu pasti memakai kopiah. Sayang, di era reformasi kesadaran itu justru meluntur. Kopiah tak lagi menjadi simbol dalam acara resmi," tulis alumnus IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu. (jat/aan)