"Yang jelas nanti disampaikan di persidangan (soal tudingan ancaman, red). Kan mekanisme, mekanisme pembuktian dan memberi keterangan palsu pidana, kita lihat saja," ujar Novel kepada wartawan di gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (24/3/2017).
"Nanti kita lihat saja, saya tidak dalam kapasitas menjawab," imbuhnya.
Dalam persidangan perkara dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor, Miryam anggota DPR dari Fraksi Hanura menyebut keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dibuat atas dasar tekanan saat diperiksa di KPK.
Pihak penekan disebut Miryam adalah penyidik KPK. Karena tekanan lewat kata-kata, Miryam mengklaim memberikan keterangan asal, tak sesuai fakta.
"Saya minta saya cabut semua karena saya dalam posisi tertekan," kata Miryam yang menangis di persidangan.
Tapi ralat Miryam di persidangan tak diterima majelis hakim. Majelis hakim menyoroti rincinya keterangan Miryam soal bagi-bagi duit e-KTP.
"Ibu itu anggota dewan yang terhormat Bu, Kalau Ibu memberikan keterangan tidak benar, bukan masalah korupsinya Bu, di KUHAP juga ada pidana untuk kesaksian palsu. Kalau disimak keterangan ibu dari awal dalam BAP, semua Ibu jelaskan secara detail dan rinci ke mana aliran dana tersebut mulai dari ketua komisinya Chairuman Harahap," tutur hakim ketua Jhon Halasan Butar Butar.
Kepada Miryam, Jhon menjelaskan isi Pasal 22 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur ancaman pidana bagi pemberi keterangan palsu.
"Ada ancaman pidananya Bu, berat, paling tidak 3 tahun atau paling lama 12 tahun," sebut Jhon. (fdn/fjp)