"Putusan MK membuat kami 'tersinggung' seolah-olah tidak percaya. Tapi kita hormati putusan MK, karena mereka negarawan, putusan mereka final dan mengikat," ujar Nasir dalam diskusi 'Dinamika Seleksi Hakim Agung' di Restoran Tjikini Lima, Jalan Cikini No 1, Jakarta Pusat, Kamis (23/3/2017).
Sebagaimana diketahui, MK telah memutuskan kewenangan DPR terhadap seleksi hakim agung hanya menyatakan setuju atau tidak terhadap usulan KY. Alhasil, legislatif tidak memiliki pilihan atas usulan dari calon hakim agung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nasir mengatakan adanya putusan MK telah membuat stigma DPR sebagai lembaga stempel. Sedangkan kehadiran mereka di gedung DPR representatif wakil rakyat.
"Dalam demokrasi ada representatif, kami adalah represenstatif masyarakat, karena masyarakat perlu tahu kualitas calon hakim agung," papar Nasir.
Nasir menuturkan sebagai solusi dalam menyelesaikan dinamika seleksi hakim agung, KY dan DPR harus membangun sistem tolak ukur bersama kualitas dan integritas hakim agung.
"Kalau tidak fit and proper test, bukan saya tidak percaya sama Pak Maradaman karena suka-suka merekam tetapi perlu dibentuk indikator bersama dan instrumen bersama tentang calon hakim agung dengan sistem rekrutmen yang transparan dan berkualitas. Sehingga antara KY dan DPR, tentu kita tidak mau terus-menerus tidak setuju (usulan hakim agung). Ini karena dampak apa yang kita sampaikan tadi," pungkas Nasir. (edo/asp)











































