Buku 'Bakda Mawi Rampog' karya R Kartawibawa menjelaskan soal rampogan sima. Tombak-tombak yang dipegang ribuan pria di alun-alun berebut mengakhiri hidup harimau yang hendak menyelamatkan diri dari kerumunan.
Sebenarnya bagaimana masyarakat saat itu memandang sosok harimau? Apakah harimau ini memang dianggap sebagai hewan yang pantas dihabisi?
Robert Wessing dalam tulisannya menjelaskan pada awal abad ke-19, masih banyak harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang berkeliaran. Terkadang tempat hidup harimau tumpang-tindih dengan tempat hidup manusia di tepi hutan.
Pada masyarakat Jawa kala itu, ada kepercayaan tentang harimau. Orang desa percaya bahwa harimau adalah jelmaan roh leluhur yang menjaga dan memantau perilaku penduduk desa. Namun orang Keraton (orang kota Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) memandang harimau sebagai simbol sifat liar, tak bisa diatur, dan bertentangan dengan budaya adiluhung.
Terlepas dari keragaman kepercayaan soal harimau itu, masyarakat Jawa pada dasarnya menaruh hormat pada harimau. Mereka memanggil harimau dengan panggilan takzim, yakni 'mbah', 'nenek', 'kiai', atau 'kiaine'. Harimau dipercaya punya kesaktian supernatural, lengkap dengan mitos dan legendanya.
Harimau dan hutan dipandang sebagai satu kesatuan. Saat seseorang mencari kayu di hutan, orang itu akan dihalangi oleh harimau. Namun, saat orang itu akan memburu harimau, harimau itu akan disembunyikan oleh hutan, atau orang itu akan disesatkan oleh hutan yang angker. Ada dayang siluman yang bisa membuat bingung manusia saat memasuki rimba raya. Begitulah cerita orang Jawa.