Modifikasi mendasar antara lain dilakukan dengan mengembangkan cerita kepercayaan politeis (banyak Tuhan) menjadi monoteis (tauhid). "Di era Kerajaan Demak (1511 Masehi), kisah para Dewa dimodifikasi menjadi sederajat dengan para Nabi atau malaikat. Jadi perspektifnya monoteis bukan lagi politeis," tulis Abdul Mun'im DZ dalam buku 'Fragmen Sejarah NU, Menyambung Akar Budaya Nusantara' yang dikutip detikcom, Minggu (19/3/2017).
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi memberikan sofistikasi dan memberikan nilai estetika yang lebih dari sebelumnya," tulis Mun'im.
Terkait munculnya spanduk yang menolak pergelaran wayang karena dianggap tak Islami di masa kampanye Pilkada DKI, pertengahan Januari lalu, melalui tulisan ini Mun'im menyebutnya sebagai dampak puritanisasi. Yakni ketika sekelompok ulama hanya mempelajari dan memahami ajaran Islam dengan merujuk satu usul fiqih hukum tanpa mempertimbangkan strategi dakwah.
"Wayang kemudian hanya menjadi konsumsi umum sebagai sarana hiburan dan pelaksanaan ritual tradisi di masyarakat abangan, semakin jauh dari masyarakat santri," tulis alumnus IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu.
Buku setebal 413 halaman terbitan Pustaka Compass ini berisi lebih dari 200 artikel atau serpihan sejarah NU di segala bidang. Mun'im berhasil menuliskanya dengan apik, tematik, dan sistematis. Bagi Wakil Sekjen PBNU itu, buku ini merupakan karyanya yang ke-12. Kali ini, Mun'im tak hanya melakukan kajian pustaka tapi juga mewawancarai sejumlai kiai dan para ahli warisnya, serta sejumlah saksi yang menjadi narasumber tentang suatu isu. (jat/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini