Bantahan Gamawan dan Permintaan Dikutuk Bila Terima Uang e-KTP

Bantahan Gamawan dan Permintaan Dikutuk Bila Terima Uang e-KTP

Hestiana Dharmastuti - detikNews
Jumat, 17 Mar 2017 09:20 WIB
Bantahan Gamawan dan Permintaan Dikutuk Bila Terima Uang e-KTP
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Jakarta - Suara eks Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi agak meninggi saat membantah menerima USD 4,5 juta dan Rp 50 juta terkait proyek e-KTP. Gamawan rela dikutuk bila ikut menikmati uang haram itu.

Gamawan hadir menjadi saksi kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2017). Pria berkacamata itu mengenakan kemeja warna putih bergaris biru.

Dia dicecar tentang dugaan penerimaan uang yang disebut dalam surat dakwaan. Gamawan disebut menerima USD 4,5 juta dan Rp 50 juta terkait proyek tersebut. Salah satu pemberian yang diungkap KPK adalah pemberian USD 2,5 juta dari Andi Agustinus alias Andi Narogong (rekanan Kemendagri) kepada Gamawan melalui saudaranya, Azmin Aulia, pada Juni 2011 untuk memperlancar proses penetapan pemenang lelang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Atas dugaan tersebut, Gamawan keras membantahnya. Bahkan dia minta seluruh rakyat Indonesia mendoakannya agar dikutuk Allah SWT apabila terbukti berkhianat kepada bangsa dan menerima uang dari megaproyek senilai Rp 5,9 triliun itu.

Dalam kesaksiannya, Gamawan menjelaskan uang Rp 50 juta yang diterimanya merupakan uang honor sebagai pembicara di lima provinsi. Dia juga mengaku mendapat pinjaman Rp 1 miliar untuk berobat dan membeli tanah. Uang pinjaman itu juga telah dilaporkan di LHKPN 2014.

Menurut Gamawan, proyek e-KTP sudah ada dua tahun sebelum dia menjabat sebagai Mendagri. Dia memastikan tak ada kesalahan prosedur dalam pengadaan proyek e-KTP. Dia blak-blakan mengaku tidak tahu adanya kongkalikong, termasuk adanya markup dalam proyek e-KTP yang merugikan negara. Gamawan menggandeng KPK untuk mengawal penganggaran. Tentang kontrak yang berubah sampai sembilan kali, Gamawan juga mengaku tidak tahu-menahu.

Berikut rentetan kesaksian Gamawan:

Kalau Saya Terima Uang, Dikutuk Allah

Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Gamawan pun meminta masyarakat Indonesia mendoakannya dikutuk Tuhan apabila terbukti menerima uang terkait korupsi proyek e-KTP.

"Terkait dengan program e-KTP, apakah Saudara pernah menerima sesuatu?" tanya hakim John Halasan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2017).

"Satu rupiah pun saya tidak pernah menerima, Yang Mulia. Demi Allah, saya kalau mengkhianati bangsa ini menerima satu rupiah, saya minta didoakan seluruh rakyat Indonesia, saya dikutuk Allah SWT," jawab Gamawan.

Sebaliknya, Gamawan meminta, apabila ada orang yang memfitnahnya, orang tersebut diberi balasan. "Tapi kalau ada yang memfitnah, saya berharap itu yang memfitnah dikutuk," ucapnya.

Terima Honor dan Pinjaman

Gamawan Fauzi di PN Tipikor (Rina Atriana/detikcom)
Gamawan menyebut uang Rp 50 juta yang disebut dalam dakwaan adalah honor, bukan aliran dana korupsi.

"Saya baca disebut-sebut terima Rp 50 juta untuk lima daerah. Saya perlu clear-kan, Yang Mulia, karena banyak yang bertanya kepada saya. Uang itu honor saya pembicara, Yang Mulia, di lima provinsi," kata Gamawan saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2017).

Gamawan lalu menjelaskan, saat menjadi menteri, dia mendapatkan honor sebesar Rp 5 juta per jam. Menurut Gamawan, hal itu sesuai dengan aturan.
"Karena menurut aturan, 1 jam menteri bicara itu Rp 5 juta. Kalau saya bicara 2 jam, Rp 10 juta," ujar Gamawan.

"Saya menerima komisi, jadi itu honor resmi, saya tanda tangani. Bukan uang dikasih, uang operasional saya, Yang Mulia," tutur Gamawan.

Selain itu, Gamawan mengaku menerima uang dari seorang wiraswasta bernama Afdal Noverman. Uang itu disebut Gamawan sebagai pinjaman untuk biaya operasi di Singapura. Gamawan mengaku meminjam Rp 1 miliar dan dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). "Rp 1 miliar. Itu saya pinjam dan saya masukkan ke LHKPN saya," sebutnya.

Tidak Ingat 9 Adendum Kontrak

Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Gamawan tidak ingat terkait mekanisme sembilan adendum (perubahan) kontrak proyek e-KTP bernilai Rp 5,9 triliun. Dia menyebut adendum merupakan kewenangan Sugiharto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).

"Siapa yang mengadendum, itu PPK. Pak Sugiharto," jawab Gamawan.

Jaksa kemudian bertanya lagi apakah adendum tersebut atas persetujuan dirjen, dalam hal ini Dirjen Dukcapil, yang saat itu dijabat Irman. Irman kini telah berstatus terdakwa.

"Adendum itu harus izin dirjennya? Mekanisme adendum di Kementerian Dalam Negeri bagaimana?" tanya jaksa.

"Saya tidak ingat. Itu kan teknis," jawab Gamawan.

Minta Dikawal KPK

Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Gamawan memastikan tak ada kesalahan prosedur dalam pengadaan proyek e-KTP. Pihaknya sudah meminta bantuan KPK perihal rencana penganggarannya.

"Minta untuk dikawal KPK dan presentasikan rencana anggarannya," ujar Gamawan saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya. Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2017).

KPK lantas meminta agar proyek tersebut dikawal oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

"Saya minta Sekjen bersurat ke LKPP dan BPKP minta dikawal, didampingi istilahnya, proses dari awal," ujar Gamawan.

Tidak Tahu Kongkalikong Lelang

Ilustrasi (Fuad Hasyim/detikcom)
Gamawan mengaku tak tahu-menahu kongkalikong yang terjadi pada proses lelang hingga pelaksanaan e-KTP. Gamawan tak pernah dilapori dugaan penggelembungan harga e-KTP yang membuat keuangan negara merugi.

"Saya nggak tahu itu," kata Gamawan bersaksi untuk terdakwa dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jl Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2017).

Gamawan saat itu mengaku hanya meminta laporan proses lelang hingga pelaksanaan pengadaan. Dia menyebut tak pernah mendengar adanya markup dari laporan pejabat pembuat komitmen dan ketua panitia pengadaan.

"Saya tidak tahu tentang itu, karena yang saya tahu itu yang dilaporkan saja. Saya tanya tender ada banyak vendor bilang tidak ada yang di bawah Rp 7 triliun, saya tanya ini yang tender ini baru dibilang Rp 5,9 triliun dan logikanya ya saya tanda tangan. Saya minta pengawasan oleh BPKP, KPK, Polri, kejaksaan," imbuhnya.

Tidak hanya itu, Gamawan juga menjelaskan saran LKPP itu tak dilakukan karena sudah ada keputusan di kantor Wakil Presiden saat itu, Boediono.
Halaman 3 dari 6
(aan/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads