Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan alih-alih untuk mempermudah jangkauan teknologi, sistem e-voting malah banyak kekurangannya.
"Pemanfaatan teknologi bisa berpotensi melahirkan masalah baru jika tidak didasarkan pada solusi-solusi untuk menjawab tantangan yang ada. Sehingga intensi Pemerintah maupun DPR yang dirasa bersandar pada selera teknologi ini sangat dipertanyakan," kata Titi dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Rabu (15/3/2017).
Baca juga: Pansus DPR Kaji Sistem Pemilu hingga E-Voting di Jerman
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama ini, pungut hitung dengan pendekatan manual berjalan sangat baik tanpa persoalan. Prosesnya sangat transparan, karena setiap aktor pemilu baik penyelenggara pemilu, calon kandidat atau partai politik, pemilih dan masyarakat umum dapat terlibat secara langsung dan aktif dalam proses penghitungan," kata dia.
"Kualitas akuntabilitasnya juga sangat tinggi, setiap elemen yang hadir dapat mengkonfirmasi keabsahan setiap suara pemilih tanpa ada sekat intelektual. Bahkan praktik pungut hitung di Indonesia saat ini menjadi standar transparansi bagi internasional," sambungnya.
Baca juga: DPR Kaji e-Voting di Jerman, KPU: Sistem Itu Tak Perlu Dipakai
"Persoalan pungut hitung di pemilu Indonesia terletak pada tahapan rekapitulasi suara yang dilakukan berjenjang sejak tingkatan desa, kecamatan, kabupaten/kota, serta provinsi," ucap Titi.
Perludem mencatat kasus-kasus yang terjadi selama tahapan rekapitulasi suara baik di Pemilu maupun di Pilkada salah satunya adanya manipulasi hasil penghitungan suara. Selain itu suara pemilih raib setelah dipindahkan dari TPS bahkan berbarengan dengan kotak suaranya.
"Adanya manipulasi hasil penghitungan suara selama proses rekapitulasi berjenjang, perolehan suara dari TPS berubah saat masuk di proses rekap. Kedua, suara pemilih raib setelah dipindahkan dari TPS, bahkan berbarengan dengan kotak suaranya," urainya.
"Kemudian adanya kesalahan pada teknis pencatatan perolehan suara di form C1. Juga adanya kesalahan hitung atau penjumlahan hasil perolehan suara pada form C1," imbuhnya.
Perludem menganggap perlu ada langkah antisipasi untuk kasus-kasus tersebut. Dia menyarankan perubahan mekanisme dan penguatan sistem pengendalian atau merancang teknologi baru.
"Kajian tersebut memperhatikan berbagai model e-voting yang pernah diterapkan, termasuk mesin yang diproduksi oleh BPPT. Kesimpulan yang dihasilkan, bahwa e-voting bukan teknologi yang dibutuhkan untuk mengganti metode pungut hitung di pemilu Indonesia untuk saat ini. Berdasarkan kajian tersebut, KPU menilai ada tiga syarat yang sejatinya belum benar-benar terjawab melalui e-voting yaitu aspek kepercayaan keamanan, aspek transparansi, serta proses uji coba teknis yang terus menerus," beber Titi.
Selain syarat tersebut, kata Titi, kunci lainnya adalah kepercayaan masyarakat. Titi mengatakan penggunaan sistem tersebut akan mengubah paradigma masyarakat soal tata cara memilih pemimpin.
"Penggunaan e-voting masih menghadapi soal kepercayaan masyarakat. Metode ini akan mengubah paradigma masyarakat soal tata cara memilih pemimpin. Selain itu pengalaman negara lain juga menggaris bawahi bahwa persoalan yang dihadapi juga menyangkut kepercayaan," ucapnya.
Titi mengatakan berdasarkan hasil kajian Perludem sistem itu belum relevan digunakan di Indonesia. Apalagi bagi negara lain e-voting dilakukan karena ada temuan kecurangan dalam proses pemungutan suara.
"Berdasarkan kajian perludem, e-voting juga belum relevan untuk digunakan di Indonesia. E-voting yang dilakukan di negara lain berkenaan dengan temuan kecurangan dalam proses pemungutan suara. Sedangkan di Indonesia terletak pada proses rekapitulasi perolehan suara," kata Titi.
Berdasarkan kajian itu, Titi berpendapat kajian teknologi yang dibutuhkan Indonesia untuk mengatasi masalah pada rekap suara. "Seharusnya solusi teknologi bisa mengantisipasi masalah pada rekap suara. Sedangkan proses pungut hitung seharusnya dipertahankan, dengan catatan pendidikan bagi pemilih harus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya," tambahnya.
Teknologi ini disebut SITUNG (Sistem Informasi Pungut Hitung) dan sudah pernah digunakan pada Pemilu 2014, Pilkada 2015, Pilkada 2017. Kendati sifatnya tidak mengkoreksi atau menyatakan hasil perolehan suara, namun tingkat kesuksesannya sangat tinggi dan tidak terdapat celah gugatan. Teknologi yang digunakan juga cocok untuk menjawab masalah yang dihadapi di proses pungut hitung pemilu Indonesia. Saat ini KPU RI juga mengabarkan sedang meningkatkan kualitas teknologinya dengan mendigitalisasi beberapa proses e-recap yang masih manual, yaitu uji coba teknologi Seven Segment," bebernya.
Dari kajian itu Perludem sejalan dengan KPU berpendapat penggunaan e-recap lebih dibutuhkan dibanding e-voting. Untuk itu Perludem mendesak pemerintah dan DPR RI untuk tidak menggunakan e-voting.
"Perludem mendesak Pemerintah serta DPR RI untuk tidak menjadikan e-voting sebagai satu-satunya solusi teknologi untuk pungut hitung Indonesia. Pemerintah dan DPR sebaiknya ikut mempelajari dan mempertimbangkan teknologi e-recap yang sedang disiapkan oleh KPU RI. Minimnya pilihan teknologi serta ketergesaan dalam mengambil keputusan dapat meruntuhkan pencapaian baik yang telah diraih oleh Indonesia di bidang kepemiluan," tegas Titi.
Halaman 3 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini