"Spanduk (tolak salatkan jenazah) itu juga hampir dapat dipastikan yang memasang juga banyak bukan dari masyarakat sekitar, bukan oleh warga masjid itu sendiri, sehingga apalagi tokoh-tokoh, bukan. Jadi ndak tahu, pokoknya hampir spanduk itu tulisannya seragam, cetakannya seragam, hanya warnanya beda-beda," kata Soni di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (13/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemungkinan ya tidak banyak sumber, artinya kalau banyak sumber kan satu spanduk satu sumber. Kalau hurufnya sama dicetak bersama, berarti kan ada yang menggerakkan," ujarnya.
Pemprov DKI sendiri dalam masalah spanduk hanya bertugas melakukan penertiban. Soal pidana, Soni menyerahkannya kepada pihak kepolisian.
"Ada dua sisi, buat saya adalah sisi penertibannya, dipasang ya diturunkan, tertib posisi kita, aspek kita. Pidananya ya urusan polisi untuk menyelidiki lebih lanjut dan tentunya mereka tidak tinggal diam, pihak kepolisian tentunya menyelidiki aspek-aspek daripada pengamanan," tuturnya.
"Intelijen pasti sudah bergerak ya. Posisi kami adalah yang kira-kira membahayakan ketertiban umum dan ketenteraman, kira-kira sudah langsung dicopot saja. Tapi dilakukan pendekatan persuasif, ternyata masyarakat dengan kesadarannya, tokoh-tokoh sangat bagus," sambung Soni.
Dalam penertiban spanduk, Soni bercerita ada satu-dua pihak yang keberatan. Namun, dengan pendekatan persuasif, pihak yang keberatan itu akhirnya mengalah.
"Saya terima kasih sebagai Plt Gubernur DKI, mereka menurunkan sendiri. Ada satu-dua yang memang ada yang keberatan. Tapi, setelah melalui pendekatan, ternyata sudah bisa dan ini akan terus dilakukan gerakan pencopotan itu," tutur Soni.
Menurut Soni, hingga Sabtu pekan lalu sudah 147 spanduk larangan mensalatkan jenazah pendukung penista agama yang diturunkan. Warga dengan kesadaran sendiri membantu Satpol PP menurunkan spanduk-spanduk tersebut. (gbr/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini