"Saya kaget mendengar nama saya dicatut dan dituduh menerima dana bancakan e-KTP. Saya tidak pernah menerima dana tersebut dan tidak pernah berhubungan dengan para terdakwa dalam proyek e-KTP kecuali dalam rapat-rapat DPR," ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (9/3/2017).
Ia menyebut saat itu fraksinya, PDI Perjuangan, justru mengkritik kebijakan pengadaan e-KTP, yang dimulai tahun 2011. Yasonna juga mengaku belum sempat didengarkan keterangannya sebagai saksi di KPK karena ada tugas mengurus pengembalian aset Bank Century di Hong Kong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa pada KPK sebelumnya menyebut Yasonna menerima uang USD 84 ribu hasil dari korupsi e-KTP. Namun jaksa KPK tidak menjabarkan kapan penerimaan uang itu terjadi. Saat proyek e-KTP bergulir, Yasonna memang menjabat anggota Komisi II DPR.
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa Irman (eks Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri) dan Sugiharto, eks Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, melakukan tindak pidana korupsi bersama sejumlah orang.
Irman dan Sugiharto dalam proses anggaran dan pengadaan paket e-KTP sudah mengarahkan lelang untuk memenangkan perusahaan tertentu, yakni konsorsium PNRI.
"Dari rangkaian perbuatan para terdakwa secara bersama-sama tersebut di atas memperkaya para terdakwa, yakni memperkaya terdakwa I (Irman) sejumlah Rp 2.371.250.000, USD 877.700, dan SGD 6.000 serta memperkaya terdakwa II (Sugiharto) sejumlah USD 3.473.830," ujar jaksa KPK dalam surat dakwaan. (fdn/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini