Kepala Sekretariat Presiden Darmansjah Djumala mengatakan tukar-menukar cendera mata itu bukanlah tradisi. Hal itu dilakukan secara situasional.
"Tergantung. Situasional. Jika mereka memberikan duluan, kita resiprokal. Kadang-kadang mereka minta batik, 'Oh, saya mau pakai batik, ya.' Itu kedengaran sama Presiden, Presiden kasih suvenir. Begitu," kata Djumala saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu bagaimana sebenarnya status barang pemberian dari negara lain kepada Presiden? Terkait ini, Djumala mengatakan hal itu juga bersifat situasional. Jika nilainya lebih dari aturan yang ditentukan, wajib dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
![]() |
"Tergantung. Kalau dia antarnegara, itu punya milik negara. BMN (barang milik negara). Tapi, kalau kita nilainya lebih dari 'jut, jut, jut', feeling, lapor. Gratifikasi," kata Djumala.
"Berdasarkan nilai dan ada di undang-undang, dipersepsikan atau patut diduga. Seperti yang saat saya kembalikan ke KPK, Rosneft (perusahaan minyak), kan latar belakang Rosneft tahulah ya kalian. Kita waktu ke situ ngapain, tahu kan. Nah, patut diduga," tambah Djumala.
Djumala juga menjelaskan, jika barang tersebut diberikan oleh negara, akan diterima sebagai cendera mata. Namun, jika berasal dari pihak swasta atau perusahaan, perlu ada kecurigaan.
"Kalau negara, jelas kami terima sebagai suvenir dan kita resiprokal. Tapi, kalau perusahaan, ya patut diduga juga. Ya sudahlah secara feeling saja," katanya.
Lalu, pada saat kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud kemarin, apakah ada saling tukar cendera mata?
"Ya, dari beliau itu, kasih itu," kata Djumala.
Dari Kerajaan Arab memangnya kasih apa?
"Saya tidak tahu," jawab Djumala. (jor/dnu)