Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija) Erick Halauwet mengatakan sejumlah pengusaha hiburan malam, termasuk Alexis, sudah melakukan mediasi dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) selaku pelapor. Menurut Erick, para pengusaha hiburan malam merasa keberatan atas harga Rp 50 ribu per lagu/room/jam yang dibebankan oleh LMKN.
"Iya ini kita juga lagi mau duduk bersama dengan LMKN, sudah 4 kali pertemuan tapi deadlock karena harganya yang biasanya Rp 20-30 juta per tahun jadi Rp 200-300 juta, kagetlah mereka," ujar Erick kepada detikcom, Jumat (3/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erick mengatakan para pengusaha karaoke eksekutif bukan tidak mau membayar royalti tersebut. Mereka keberatan lantaran harganya dinilai tidak masuk akal.
"Niatnya mereka kan mau bayar, tapi mereka matok harganya yang tinggi. Menentukan harganya Rp 50 ribu per jam per room itu dari mana aturannya? Yang nentuin kan dari LMKN-nya sendiri," jelasnya.
Menurutnya, tempat karaoke eksekutif berbeda dengan karaoke family. Ruangan karaoke eksekutif, seperti di Alexis, dibayar per paket, bukan per jam, seperti ruang karaoke keluarga.
"Karaoke eksekutif itu tidak jual jam-jam lagi, tapi kalau karaoke eksekutif itu sudah paket sekalian minum sama pemandu musiknya, terus sampai 5-10 jam boleh sampai tutup juga ya segitu saja bayarnya," imbuhnya.
Sebelum ada LMKN, para pengusaha hiburan malam membayar royalti lagu kepada Karya Cipta Indonesia (KCI) dan Wahana Musik Indonesia (Wami). Akan tetapi bayaran royalti ke KCI dan WAMI tidak setinggi LMKN.
"Prinsipnya, teman-teman pengelola hiburan mereka sadar dan mau bayar, seperti waktu sama KCI, ada Wami, kita sudah ketemu sama Wami. Kalau kita dengan Wami dan KCI ini bisa duduk bersama. KCI itu sepuluh tahun lalu itu enak-enak saja, kita bisa bayar, contoh Alexis, Rp 20-30 juta bayar ke KCI, sekarang dia harus bayar dengan harga Rp 200-300 juta per tahun, kan enggak masuk akal," jelasnya.
Erick juga menyesalkan lantaran, menurutnya, LMKN tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada para pengusaha karaoke eksekutif. Untuk diketahui, beberapa bulan lalu, Polda Metro Jaya bersama LMKN dan sejumlah musisi Ibu Kota serta pengusaha hiburan malam telah mensosialisasikan soal royalti tersebut di Balai Pertemuan Metro Jaya.
"Kita nggak pernah diundang. Nentuin harga saja kita nggak tahu," ucapnya.
Erick meminta pengertian dari LMKN terkait dengan tarif royalti tersebut. Ia juga meminta LMKN memberikan keringanan pembayaran royalti untuk 2016 tersebut.
"Nah teman-teman LMKN ini tidak mengerti di situ. Jadi pada keberatan semua. Pajak saja ada amnesti. LMK harusnya audiensi ke masyarakat, publikasi bahwa ini lho," sambungnya.
Sikap keberatan para pengelola karaoke eksekutif dengan tarif royalti itu lantaran selama ini sudah dibebani pajak hiburan dan lain-lain. "Pajak saja kita 30 persen, minuman juga. Kalau harganya masuk akal sih tidak masalah. Contoh, katakanlah misalnya ada 4.000 room, itungan saya bisa Rp 300 M dia bayar per tahun, cuma logika ngitungnya yang pasti nggak masuk di akal kita," tandasnya. (mei/fjp)











































