Sengketa Tanah, Sebagian Warga Pulau Pari Pasang Bambu Runcing

Sengketa Tanah, Sebagian Warga Pulau Pari Pasang Bambu Runcing

Jabbar Ramdhani - detikNews
Jumat, 03 Mar 2017 17:13 WIB
Pulau Pari, Jakarta (agung/detikcom)
Jakarta - Sebagian besar warga Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu memasang bambu runcing di depan rumah mereka. Hal ini dilakukan sebagai sikap penolakan privatisasi lahan yang terjadi di sana.

"Baru seminggu ini (dipasang). Tapi itu (bambu runcing, red) kan cuma simbol saja. Bukan sebagai bentuk senjata untuk melawan. Simbol yang diletakkan di depan rumah bahwa warga menolak privatisasi bukan untuk mempersenjatai diri, enggak," kata Koordinator Tim Advokasi LBH Rakyat Banten saat dihubungi, Jumat (3/3/2017).

Ia mengatakan, bambu runcing tersebut hanya digunakan sebagai tiang bendera. Di ujung bambu tersebut dipasang bendera merah putih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, hal tersebut dimaknai sebagai simbol kemerdekaan. Warga Pulau Pari menginginkan hak atas tanah yang mereka duduki tersebut dapat diakui dan dipertahankan.

"Itu kita anggap sebagai tiang bendera saja. Ya kan kalau Indonesia kan bambu runcing itu kan sebagai simbol kemerdekaan. Bukan sebagai sajam yang digunakan untuk perang. Itu sebagai simbol kemerdekaan atas rencana privatisasi pulau. Mereka juga ingin merdeka kan, supaya tidak diganggu lagi. Itu sih pikirannya," ujarnya.

Tigor mengatakan, tindakan ini dilakukan warga sebagai bentuk perjuangan secara damai. Kondisi ini berawal dari sengketa lahan antara warga Pulau Pari dan perusahaan yang ada di sana. Pihak perusahaan mengklaim memiliki 90 persen wilayah di Pulau Pari.

Menurutnya, isu kasus ini sudah mulai sekitar tahun 2007. Hanya saja, sejak 2015 sudah mulai ada pelaporan dari pihak perusahaan kepada warga.

"Sebanarnya kasus ini sudah lama, sejak 2007 sebenarnya sudah ada isunya. Tapi 2015 perusahaan melakukan pelaporan-pelaporan terhadap warga," tutur Tigor.

"Ada klaim dari perusahaan ke keluarga. Tanahnya katanya, 90 persen salah satu perusahaan ini (mengatakan) miliknya. Nah, beberapa warga dapat somasi. Satu orang sudah dilaporkan dan dipenjara. Ya warga sampai sekarang masih berjuang, secara damai saja," sambungnya.

Terkait penyelesaian kasus sengketa tanah tersebut, warga sudah berkomunikasi dengan pihak perusahaan. Namun, upaya penyelesaian tersebut menemui jalan buntu. Terkait kasus ini pun, warga berusaha meminta pemerintah ikut turun tangan menyelesaikan kasus ini.

"Akhirnya warga sudah pergi ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sudah ke Kementerian Kelautan dan Perikanan dan juga sudah ke Kantor Staf Presiden agar permasalahan ini diselesaikan. Warga ingin mendapat pengakuan atas hak tanah mereka," ucapnya.

Tigor mengatakan hal tersebut ditempuh karena pihak pemerintah kabupaten tidak memberikan respons terkait kasus yang terjadi ini. Ia beranggapan pihak pemkab dan jajarannya tidak memiliki keberpihakan terhadap warga Pulau Pari.

"Tidak jelas sikap mereka seperti apa. Bahkan, sekabupatennya cuek," ucap Tigor.

"Kemarin Kamis (2/3) pihak kecamatan datang, menawarkan uang kepada salah satu warga untuk meninggalkan rumahnya. Ini uang kerohiman katanya. Jadi satu warga kita itu dipenjara. Kemudian rumahnya itu minta dikosongkan dan dibongkar. Nah kemudian istrinya didatangin, ini ada uang Rp 20 juta, tapi agar mengosongkan rumahnya sebagai uang kerohiman. Kita tanya, uang itu dari mana? Apakah dari mata anggaran pemerintah? Ternyata uangnya dari perusahaan," imbuhnya menjelaskan.

Warga tetap bertahan di Pulau Pari karena mereka sudah secara turun-temurun meninggali tanah yang ada di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan ini. Warga dikatakan Tigor mempunyai bukti sah penempatan lahan berupa girik.

Namun, girik tersebut sudah tidak dipegang oleh warga karena pada awal tahun 1990, pihak kelurahan menarik girik warga tersebut dengan alasan ingin diperbaharui. Hanya saja hingga kini, belum ada kejelasannya.

"Jadi warga sudah turun temurun tinggal di sini. Dulu mereka punya pencatatan. Kemudian tanah berupa girik dan lain-lain. Kemudian itu pernah ditarik pihak kelurahan. Jadi semua bukti ditarik pihak kelurahan katanya pengen diperbarui. Tapi sampai sekarang tidak ada pembaharuan oleh pihak kelurahan. Eh tahu-tahunya ada perusahaan yang datang mengklaim punya 90 persen wilayah pulau ini," ungkap Tigor.

Sebelumnya diberitakan, seorang nelayan kecil yang tinggal di Pulau Pari bernama Edi Priadi (65), harus mendekam di penjara karena diduga menyerobot tanah milik perusahaan. Edi yang tinggal sejak 1999 itu dikenai Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan rumah seseorang yang telah dipagari atau ditembok.

Untuk memperjuangkan nasib Edi, Walhi dan LBH Rakyat Banten meminta kepada Mahkamah Agung untuk meninjau kembali putusan perkara dengan nomor 257PID/2016/PT.DKI atas nama Edi Priadi. (jbr/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads