Pembangunan masjid itu dibuka melalui sayembara pembuatan desain yang dimuat sejumlah media pada 22 Februari 1953. Sayembara yang digelar Yayasan Masjid Istiqlal tersebut antara lain mensyaratkan masjid menunjukkan keindonesiaan, bukan seperti masjid tradisional yang tersebar di banyak daerah. Salah satu syarat utamanya adalah adanya kubah dan menara.
Dalam sidang yang digelar di Istana Bogor, juri memutuskan desain bertema Ketuhanan sebagai pemenang pertama. Empat pemenang berikutnya adalah R. Oetoyo, yang mengusung desain bertema Istigfar, Hans Groenewegen (Salam), lima mahasiswa Institut Teknologi Bandung (Ilham), dan tiga mahasiswa ITB lainnya mengusung tajuk Khatulistiwa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lazimnya, setiap lomba desain di kalangan arsitek tak pernah mencantumkan nama, tapi hanya sandi-sandi atau tema desain rancangannya. Kalau dari semula desain ditulisi nama, saya tak tahu apakah Papi akan dipilih menjadi pemenangnya," kata kata Panogu Silaban, putra keenam Friedrich Silaban kepada detikX, Maret 2016.
Dari cerita sang ayah, Poltak Silaban, putra ketiga Friedrich Silaban, menambahkan, banyak pihak tercengang saat mengetahui pemenang desain Istiqlal seorang Batak beragama Kristen.
Menurut Panogu, lulusan Fakultas Arsitektur ITB, dalam mendesain Istiqlal, Silaban menerapkan filosofi tropis. Hal itu dapat dikenali dari penggunaan atap-atap lebar dan koridor besar. Tujuannya tak lain agar hawa di dalam masjid sejuk meski tanpa alat penyejuk udara. Selain itu, Silaban sengaja menata ruangan terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar untuk memudahkan sirkulasi udara dan menjadi penerangan alami.
"Papi berpendapat, bukan cuma atap yang menaungi manusia dari iklim, tetapi juga dinding bangunan. Karena itu, banyak karyanya yang beratap lebar," ujar Panogu.
Masih terkait dengan pilar penyangga kubah, menurut Poltak, Silaban tak setuju ukurannya diperkecil meski jumlahnya diperbanyak. Sebab, dalam perhitungan Silaban, perubahan itu tak akan mampu menyangga kubah dengan garis tengah 45 meter, yang total beratnya lebih dari 80 ton. Karena tak tercapai kata titik temu, akhirnya masalah ini dibawa ke seorang profesor di Universitas Darmstadt, Jerman Barat.
Katanya itu sesuai dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad, tapi Papi kan Kristen, enggak mengerti. Itu dicocok-cocokkan kemudian sepertinya."
Semula si profesor sependapat bahwa pilar penyangga yang diperkecil akan mampu menyangga kubah rancangan Silaban dengan teknologi mutakhir. Tapi, begitu dilakukan uji simulasi di laboratorium, kubah itu ambruk. "Dari situ, si profesor memuji kecermatan Papi. Dia kemudian menjadi sahabat Papi dan pernah beberapa kali main ke rumah ini," ujar Poltak. Selain itu, untuk mengapresiasi Friedrich Silaban, Universitas Darmstadt menyebut kubah hasil rancangannya itu dengan nama Silaban Dome.
Sedangkan dari Presiden Sukarno, Silaban mendapat tanda kehormatan Satyalancana Pembangunan pada 1962. Juga mendapat penghargaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. "Untuk yang dari New Orleans, saya tidak tahu persis kenapa bisa dapat. Setahu saya, Papi lebih suka (musik) klasik ketimbang jazz, he-he-heβ¦," ujar Panogu.
Kisah lengkap mengenai Kubah Istiqlal bisa dibaca di: Kubah Istiqlal Diuji Hingga Jerman (fjp/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini