"Tujuan ke sini sebetulnya kita mau menyerahkan surat terbuka kepada Kapolri. Surat terbuka itu sendiri ditandatangani lebih-kurang dari 100 individu dan lembaga nasional," ujar Diana Gultom, perwakilan deptWATCH, di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (23/2/2017).
Kriminalisasi yang menjerat dua warga adat Sumerta, I Made Jonantara dan I Gusti Made Dharmawijaya, dianggap sebagai tindakan pengekangan terhadap upaya masyarakat adat dalam mempertahankan lingkungan hidupnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena perbuatannya, Jonantara dan Dharmawijaya disangkakan Pasal 24 huruf a juncto Pasal 66 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
"Jelas karena perbuatan yang dilakukan oleh para aktivis ini bukan merupakan tindak pidana sesuai dengan Undang-Undang Pasal 66 yang dijadikan tuduhan. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 ada dalam pasal tersebut tidak ada klausul apa pun yang dilanggar oleh mereka atau merendahkan martabat bendera atau merendahkan martabat bendera Indonesia yang dijadikan tafsir oleh polisi. Di sini polisi sebagai pelapor," kata I Made Ariel Suardana, yang merupakan Koordinator Divisi Hukum ForBali.
Dalam surat terbuka ini, ada lima poin yang dinyatakan:
1. Tindakan ini tidak mencerminkan penodaan terhadap bendera Merah-Putih.
2. Tindakan ini adalah perjuangan lingkungan hidup mempertahankan Teluk Benoa dari usaha reklamasi.
3. Tindakan ini bukan merupakan tindak pidana sehingga proses hukum tidak layak dilanjutkan.
4. Tindakan ini merupakan bentuk kebebasan berekspresi sebagai upaya penolakan terhadap proyek reklamasi Teluk Benoa.
5. Upaya penangkapan dan memproses hukum merupakan tindakan kriminalisasi dan pelemahan gerakan masyarakat dalam tolak reklamasi Teluk Benoa.
Pihak Mabes Polri dan Polda Bali belum berkomentar mengenai surat terbuka dari Walhi ini. (rvk/fjp)