Adnin Jadi Tersangka, Pengacara: YKUS Itu Yayasan Kecil

Adnin Jadi Tersangka, Pengacara: YKUS Itu Yayasan Kecil

Idham Kholid - detikNews
Kamis, 23 Feb 2017 09:42 WIB
Pengacara Habib Rizieq, Kapitra Ampera (Amel/detikcom)
Jakarta - Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua (YKUS) Adnin Armas dikatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian ditetapkan menjadi tersangka dan disangka melanggar UU Yayasan. Pihak Adnin mengatakan belum menerima surat pemberitahuan penetapan tersangka itu.

"Sampai hari ini belum terima suratnya. Tapi masalahnya, yayasan keadilan itu itu cuma yayasan kecil dengan aset Rp 2,5 juta," kata pengacara Adnin, Kapitra Ampera, saat dihubungi detikcom, Rabu (22/2/2017) malam.

Selain itu, kata Kapitra, kantor Yayasan Keadilan menempel di rumah Adnin, sebagai Ketua Yayasan. Kapitra mengatakan Bachtiar Nasir bukanlah pengurus, pengawas, pembina, ataupun pendiri yayasan tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kan aneh-aneh saja. Sekarang Undang-Undang Yayasan, apa uang mengalir ke Adnin, apa mengalir ke pembina, pengurus. Kalau dia mengalir ke Bachtiar Nasir boleh saja, Bachtiar bukan orang yang dilarang oleh Pasal 70 atau Pasal 5 UU 28 Tahun 2004 itu, UU Yayasan," ujarnya.

"Kedua, uang itu uang titipan, bukan uang yayasan, dari jemaah memakai rekening Yayasan Keadilan, karena nggak mungkin pakai rekening pribadi Bachtiar Nasir atau bendahara. Karena GNPF ini panitia, bukanlah badan hukum, dia ad hoc, selesai bela Islam dia bubar sendiri," sambungnya.

Kapitra menjelaskan orang menyumbang merupakan suatu hal yang sifatnya sukarela dan tidak ada paksaan. Ada 5.000 donasi untuk aksi bela Islam ini.

"Lalu apa urusannya dengan negara sih, apa urusannya dengan polisi. Apakah ini uang negara, apa ini uang hasil korupsi, siapa pelaku korupsinya, apa hasil teroris, siapa terorisnya. Apakah hasil perdagangan manusia, siapa pelakunya. Apa hasil bisnis narkoba, siapa pelakunya. Harus jelas ini," tuturnya.

Menurut Kapitra, Bachtiar diberi kuasa untuk mengeluarkan uang GNPF karena sebagai ketua umum. Uang itu diambil secara bertahap, tidak sekaligus.

"Yang tanggal 8/11/16 itu sebesar Rp 600 juta gunanya membiayai korban-korban yang luka, kan banyak itu untuk pengobatan. Kedua, memberi bantuan pada almarhum Syafii, yang meninggal, Rp 100 juta. Terus tanggal 16/11/16 ambil Rp 400 juta untuk persiapan Aksi Bela Islam 212," tambahnya.

"Ini urusan negara apa, (kenapa) kita harus laporkan ke negara, apa urusannya. Kenapa negara masuk ke dalamnya. Kejahatan itu kan ada korbannya, negara, ada masyarakat, ada korbannya diri kita sendiri. Ini korbannya siapa sih," pungkasnya. (idh/tor)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads