Putusan itu yakni kala MA membatalkan perjanjian perdata antara perusahaan RI dan perusahaan asing karena perjanjiannya itu dibuat menggunakan bahasa Inggris. Lantas apa jawaban MA?
"Yang jelas, dalam hukum acara kita menggunakan bahasa Indonesia, baik pidana maupun perdata. Masalah kontrak atau dokumen dalam bahasa Inggris, saya pikir tidak jadi masalah, karena toh nanti diminta juga diterjemahkan dokumen itu oleh ahli bahasa," ucap juru bicara MA Suhadi saat ditemui di Hotel Le-Meridien, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (21/2/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bukan menolak karena bahasa Inggris atau bahasa asing, saya pikir karena memang substansinya beracara itu untuk menentukan menang atau kalah. Misalnya perdata itu perang bukti, kalau pidana mencari kebenaran materiil, alat-alat bukti," jelas Suhadi.
"Bisa kita memuat dalam putusan itu menggunakan bahasa Inggris. Tapi lampiran terjemahan juga dimuat dalam putusan itu. Jadi, kalaupun ada kata-kata dalam bahasa asing yang harus diterjemahkan, harus bisa dimengerti dalam bahasa Indonesia," lanjutnya.
Ditambahkan Suhadi, MA memperbolehkan pihak asing mengajukan perkara di Indonesia. Namun harus mengikuti ketentuan UU yang ada dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa), yang mengatur dengan jelas penggunaan bahasa Indonesia dalam hukum beracara di peradilan.
"Gugatan perkara itu tidak bisa dengan bahasa Inggris, ya tidak bisa. Karena dalam UU, kita beracara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Namun silakan mengajukan perkara, yang pasti menggunakan bahasa Indonesia," jelasnya.
Hal senada disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan. Menurutnya, wajar bila MA menolak perkara dalam bahasa asing.
"Kita punya kedaulatan dan dalam kedaulatan hukum, kita menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, bila berperadilan di kita, wajib menggunakan bahasa Indonesia dan dalam putusannya juga harus menggunakan bahasa Indonesia," ujarnya.
Menurut Agustinus, hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya kesalahan tafsir.
Baca Juga: Kala Putusan MA Indonesia Bikin Sentimen Negatif Investor Jepang
"Ini untuk mencegah bila di kemudian hari terjadi salah tafsir dalam perkara itu. Karena yang harus ditafsir nantinya bukan terjemahan dalam bahasa asing, melainkan putusan berbahasa Indonesianya," jelasnya.
Hal itu terungkap dalam rangkaian regulasi training 'Study for the Amendment to the Law' di Osaka, Jepang, yang dilaksanakan pada 12-22 Februari 2017. Dari Indonesia, training tersebut diikuti antara lain oleh Dirjen Peraturan Perundangan Prof Widodo Ekatjahjana, Ketua Program Studi S3 Universitas Diponegoro Semarang Prof Adji Samekto, guru besar Universitas Andalas (Unand) Prof Saldi Isra, akademisi UGM Zainal Arifin Mochtar, akademisi Unand Feri Amsari, ahli hukum Refly Harun, dan tim dari Ditjen PP Kemenkum HAM.
Dalam pertemuan itu, disampaikan ada kasus yang cukup mengejutkan investor Jepang, yaitu putusan MA Indonesia pada 31 Agustus 2015. Dalam putusan itu, MA membatalkan perjanjian antara perusahaan asing dan perusahaan Indonesia karena perjanjian di antara keduanya dibuat menggunakan bahasa Inggris. MA Indonesia berdalih perjanjian itu tidak sah karena bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Atas hal itu, perwakilan delegasi dari Indonesia, Dr Bayu Dwi Anggono, memahami kegelisahan investor tersebut.
"Di tengah persaingan perekonomian global yang semakin kompetitif antarnegara, ditemukan fakta ternyata tidak hanya aturan regulasi saja yang menjadi faktor dominan dalam menarik minat masuknya investasi dari negara lain, tapi juga bagaimana kualitas putusan pengadilan di tiap negara juga sangat mempengaruhi minat pelaku usaha luar negeri untuk menanamkan investasinya di Indonesia," kata Bayu di sela-sela pertemuan. (asp/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini