Hal itu terungkap dalam rangkaian regulasi training 'Study for the Amendment to the Law' di Osaka, Jepang, yang dilaksanakan pada 12-22 Februari 2017. Dari Indonesia, training tersebut diikuti, antara lain, oleh Dirjen Peraturan Perundangan Prof Widodo Ekatjahjana, Ketua Program Studi S3 Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Adji Samekto, guru besar Universitas Andalas (Unand) Prof Saldi Isra, akademisi UGM Zainal Arifin Mochtar, akademisi Unand Feri Amsari, ahli hukum Refly Harun, dan tim dari Ditjen PP Kemenkum HAM.
Adapun dari Jepang diikuti oleh pejabat Kementerian Kehakiman setempat serta akademisi Jepang. Seluruh dana studi riset ini dibiayai oleh pemerintah Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pertemuan itu, disampaikan kasus yang cukup mengejutkan investor Jepang, yaitu putusan MA Indonesia pada 31 Agustus 2015. Dalam putusan itu, MA membatalkan perjanjian antara perusahaan asing dan perusahaan Indonesia karena perjanjian di antara keduanya dibuat menggunakan bahasa Inggris. MA Indonesia berdalih perjanjian itu tidak sah karena bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Menanggapi hal itu, Zainal Arifin Mochtar menjelaskan seharusnya putusan itu tidak terjadi. Sebab, dalam UU lain, yaitu KUHPerdata, perjanjian adalah sah dan menjadi UU bagi kedua belah pihak sepanjang memenuhi kaidah KUHPerdata. MA Indonesia seharusnya melihat peraturan secara luas, bukan semata-mata satu UU saja, sehingga membuat putusan yang lebih komprehensif.
Atas hal itu, perwakilan delegasi dari Indonesia, Dr Bayu Dwi Anggono, memahami kegelisahan investor tersebut.
"Di tengah persaingan perekonomian global yang semakin kompetitif antarnegara, ditemukan fakta ternyata tidak hanya aturan regulasi saja yang menjadi faktor dominan dalam menarik minat masuknya investasi dari negara lain, melainkan juga bagaimana kualitas putusan pengadilan di tiap negara juga sangat mempengaruhi minat pelaku usaha luar negeri untuk menanamkan investasinya di Indonesia," kata Bayu di sela-sela pertemuan.
Jika selama ini upaya baik dari Presiden Joko Widodo melalui paket kebijakan reformasi hukum diarahkan untuk menghilangkan pungutan liar atau suap di lapangan pelayanan publik serta dilakukan dengan memangkas regulasi bermasalah yang tumpah-tindih dan tidak harmonis yang menghambat kemudahan dunia usaha, paket reformasi hukum tersebut agar lebih efektif dapat dilengkapi dengan menyasar pembenahan peningkatan kualitas putusan pengadilan. Terutama putusan terkait dengan sengketa antar-pelaku usaha, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
"Hal ini mengingat ternyata selama ini para pelaku usaha di luar negeri sangat memperhatikan kualitas putusan-putusan pengadilan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa usaha yang terjadi. Putusan-putusan pengadilan baik di tingkat pertama sampai dengan kasasi di Mahkamah Agung ternyata menjadi topik bahasan dan ulasan oleh praktisi-praktisi hukum luar negeri di mana salah satunya adalah praktisi hukum Jepang sebagai negara dengan relasi perdagangan dan investasi yang cukup tinggi dengan Indonesia," pungkas Bayu. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini