Mengapa Manusia Bisa Tega Memutilasi dan Memasak Orangutan?

Mengapa Manusia Bisa Tega Memutilasi dan Memasak Orangutan?

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikNews
Jumat, 17 Feb 2017 09:03 WIB
Foto: Istimewa
Jakarta - Kabar tentang orangutan yang dimutilasi dan dimasak oleh sekelompok orang di Kapuas, Kalimantan Tengah, menggemparkan. Mengapa manusia bisa setega itu?

Ketua Centre for Orangutan Protection (COP) Hardi Baktiantoro memiliki informasi bahwa pembantaian orangutan itu terjadi di dalam kawasan konsesi perkebunan sawit suatu perusahaan swasta pada 27 Januari 2017. Nah, mengapa sampai dimasak, apakah pegawai perkebunan kekurangan pangan?

"Ada beberapa faktor, kurang pangan sih tidak, jadi yang pertama itu perusahaan memberikan tanggung jawab ke seseorang. Misal si A dapat tugas amankan blok 1 sampai blok 2, ketika ada sawit yang rusak, tanggung jawab dia ganti tanaman rusak, si A lakukan segala cara untuk ganti akhirnya membunuh, menembak, dan segala macam," tutur Hardi dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (16/2/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam beberapa kasus, imbuh Herdi, perusahaan sawit malah memberikan uang bagi siapa saja yang menyetor tangan orangutan yang dianggap hama itu sebesar Rp 500 ribu.

"Kebijakan itu sempat jadi tren di perusahaan sawit sekitar 2007-2008 karena orangutan dianggap hama. Orangutan kan biasa makan daun-daunan. Nah hutan habis dibakar untuk jadi kebun sawit, tunas kelapa sawitnya daunnya dimakan orangutan itu, akhirnya orangutannya yang dibasmi," jelas Hardi.



Kejadian antara orangutan dan kebun sawit banyak terjadi di Kalimantan ketimbang di Sumatera. Hal ini lantaran Kalimantan masih memiliki lebih banyak hutan hujan. Perkebunan sawit memerlukan tanah subur dengan unsur hara yang banyak dan hal itu bisa didapatkan di lahan hutan.

"Ini lagi-lagi persoalan menyeluruh hulu ke hilir. Kalau saya lihat perusahaan (sawit) tidak peduli, yang penting selamat. Perusahaan pintar sudah tahu persoalan. Kadang perusahaan lempar persoalan ke masyarakat setempat, orangutan dikeluarkan dari dalam batas kawasan perusahaan, di kampung, misalnya. Yang kena sekarang masyarakat," tuturnya.

Dalam hal ini, polisi serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus responsif membuka kasus tersebut. "Murni karyawan pengen makan atau buah dari kebijakan perusahaan?" tuturnya.

Semua perusahaan sawit, menurut Hardi, dipastikan sudah mengerti undang-undang, termasuk tentang gesekan dengan orangutan dan sebagainya. Salah satu cara menghukum perusahaan kelapa sawit yang nakal itu bisa dengan memboikot produk sawit hingga tidak memberikan kredit.

"Perusahaan besar memutus kontrak minyak sawitnya biar nggak bisa gerak lagi, diboikot dulu ramai-ramai. Ini cara yang berhasil. Terus gimana mereka agar melakukan perbaikan, kalau nggak banknya nggak kredit ke perusahaan," tuturnya.

Namun kejadian pembantaian orangutan terus berulang karena tidak ada penegakan hukum dari hulu ke hilir.

"Cara membereskannya, hukum dari hulu ke hilir, dari awal. Contoh kasus yang terjadi sekarang ini (di Kapuas-Kalteng), kawasan konsesi tumpang-tindih dengan kawasan orangutan, perizinannya bisa jadi salah kepala daerahnya, konsultan, tim penilainya, bisa jadi terlibat berjemaah. Kenapa sampai terjadi, kita bisa melakukan penegakan hukum dari hulu ke hilir," tegasnya. (nwk/bag)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads