Hal itu terpapar dalam focus group discussion (FGD) dalam rangkaian training 'Study for the Amendment to the Law' di Osaka, Jepang, Senin (13/2/2017). FGD itu diikuti perwakilan Kemenkum HAM Indonesia, para ahli hukum, serta peneliti dari Indonesia dengan pihak Kementerian Kehakiman Jepang dan ahli hukum Jepang.
Dari Indonesia, FGD tersebut diikuti antara lain oleh Dirjen Peraturan Perundangan Prof Widodo Ekatjahjana, Ketua Program Studi S3 Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Adji Samekto, guru besar Universitas Andalas (Unand) Prof Saldi Isra, dosen UGM Yogyakarta Dr Zainal Arifin Mochtar, Direktur Puskapsi Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono, ahli hukum Refly Harun, akademisi Unand Feri Amsari, dan tim dari Ditjen PP Kemenkum HAM. Adapun dari Jepang diikuti oleh pejabat Kementerian Kehakiman setempat serta akademisi Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tukar-menukar pengalaman itu dimulai dengan pemaparan struktur hukum di Indonesia dan di Jepang. Di Indonesia terdapat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat 1 menyebut tata urutan perundangan terdiri dari:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam kenyataannya, muncul ribuan peraturan daerah (perda) di Indonesia yang tumpang tindih dengan peraturan di atasnya. Hal itu tecermin dengan dibatalkannya 2.143 perda pada Juni 2016 oleh pemerintah Indonesia karena tidak sejalan dengan aturan di atasnya.
Bagaimana dengan Jepang? Negara Matahari Terbit ternyata tidak mengenal hierarki peraturan layaknya UU Nomor 12/2011 itu. Satu-satunya rujukan sistem perundangan di Jepang adalah Pasal 98 Undang-Undang Dasar Jepang yang menyatakan Undang-Undang Dasar adalah konstitusi tertinggi dan untuk melaksanakannya dilakukan lewat undang-undang dan perda. UU yang dimaksud adalah UU dan Peraturan Kabinet (Peraturan Pemerintah di Indonesia, red).
Di ayat selanjutnya, konstitusi Jepang hanya mensyaratkan perda tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Namun, dengan aturan dan pasal yang cukup sederhana tersebut, ternyata nyaris tidak ada tumpang tindih perda dengan UU.
"Bagaimana apabila ada perda yang tidak sejalan dengan UU?" tanya Rafly Harun.
Pihak Jepang menjawab permasalahan itu akan diselesaikan di pengadilan negeri dengan syarat harus muncul kasusnya terlebih dahulu. Namun jumlah permasalahan yang masuk pengadilan nyaris tidak ada tiap tahunnya. Bila pengadilan menilai aturan itu merugikan penggugat, penggugat itu terbebas dari hukuman.
Putusan pengadilan itu hanya menganulir penerapan pasal terhadap kasus yang dipermasalahkan. Tetapi pemda dengan kesadaran tersendiri tidak akan melaksanakan pasal lagi karena sudah dinilai oleh pengadilan sebagai pasal bermasalah.
Minimnya tumpang tindih perda dengan aturan di atasnya karena dalam membuat perda, pemkot/pemkab meneliti dengan saksama. Apakah perda itu sudah sesuai atau bertentangan dengan aturan di atasnya. Riset dan telaah ini dipatuhi dan ditaati secara saksama, baik oleh wali kota maupun DPRD setempat.
Perbedaan di atas dipahami oleh guru besar Universitas Nagoya, Profesor Shimada Yuzuru. Sebab, Indonesia memiliki sejarah buruk di masa lalu, yaitu era Orde Lama dan Orde Baru. Di mana saat itu kewenangan yang besar di tangan pemerintah pusat menyebabkan lahirnya aturan yang tumpang tindih dan tidak tertib.
Sehingga pasca-Reformasi, dibuat aturan rigid tentang hierarki perundangan sebagaimana dituangkan adalah Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 12/2011 dengan maksud untuk tidak melahirkan tumpang tindih aturan. (asp/rvk)