Awal Februari 2017 ini, misalnya, beredar hoax yang sangat meresahkan umat Islam. Dari media sosial beredar kabar bahwa pemerintah akan melakukan sertifikasi terhadap para khatib. Ketika detikcom meminta konfirmasi kepada Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama Mastuki, dipastikan kabar itu hanya hoax.
Sebelumnya, kabar palsu juga banyak muncul ketika berlangsung 'aksi 411'. Saat itu media sosial kita memang sangat riuh dan ramai. Terjadi banjir informasi, baik yang sesuai dengan fakta maupun yang hanya kabar bohong. Pada hari itu, ketika malam tiba, saat para peserta aksi sudah naik bus untuk kembali ke daerah masing-masing, tidak lama kemudian terjadi 'kerusuhan kecil'. Bersamaan dengan datangnya kerusuhan tersebut, datang pula hoax. Salah satunya beredarnya foto yang memperlihatkan Ustaz Arifin Ilham dengan baju robek di bahu. Foto tersebut lantas diberi tambahan informasi bahwa Ustaz Arifin Ilham terkena tembakan di bahunya. Dalam waktu yang tidak jauh itu, juga beredar kabar ada peserta aksi yang meninggal dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nama Arifin Ilham mempunyai news value (nilai berita) yang tinggi, apalagi Sang Ustaz, yang ikut aksi 411, dikabarkan terkena luka tembak. Ini sebuah berita besar yang sangat menarik bagi media massa. Lebih-lebih bagi media online, yang menjunjung tinggi kecepatan, yang selalu ingin menjadi nomor satu, yang tercepat dalam membuat berita. Tapi, di sisi lain, kabar ini juga berpotensi memprovokasi massa yang mulai pulang.
detikcom, pada malam 411 itu, memilih berhati-hati. Akurasi lebih penting ketimbang kecepatan. detikcom, yang konsisten menyuarakan ajakan #JakartakuDamai, terus-menerus mengingatkan reporternya agar bekerja secara profesional sesuai dengan kode etik jurnalistik bahwa wartawan harus menghasilkan berita yang akurat.
Artinya, meskipun media online menerapkan journalism in progress alias jurnalisme yang me-running berita, memberitakan secara bertahap, dan tidak utuh semua unsur berita (5W + 1H)-nya, disiplin menjalankan verifikasi harus dilakukan. Kami tidak ingin kerusuhan hanya gara-gara berita hoax di media sosial seperti yang sebelumnya terjadi di Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada 29 Juli terulang.
Check and recheck akan kebenaran informasi harus dilakukan. Harus ada wartawan yang mendatangi rumah sakit tempat Arifin Ilham dirawat, juga harus menghubungi atau menelepon semua nomor telepon Sang Ustaz ataupun orang terdekatnya. Ketika kemudian wartawan detikcom berhasil mengontak Arifin Ilham lewat ajudannya, ternyata Sang Ustaz dalam kondisi baik-baik saja. Ia masuk rumah sakit akibat gas air mata, bukan karena tembakan. Jadi kabar yang sudah viral itu memang hoax dan, bila tanpa kehati-hatian dipublikasikan, bisa menyulut kerusuhan yang membahayakan bangsa dan negara.
Dari banyak kasus yang muncul, harus diakui, kehadiran internet bak pisau bermata dua. Banjir informasi, seperti diingatkan pakar jurnalisme Bill Kovach dalam buku Blur, membuat orang bingung. Bila tidak disikapi dengan hati-hati, banjir informasi (terlebih informasi yang dipalsukan) bukan mendatangkan kebaikan, melainkan malah akan mendatangkan bahaya.
Pers yang profesional tentu tidak akan memproduksi hoax yang merugikan masyarakat pembacanya. Aparat pemerintah dan penegak hukum perlu melakukan tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang menebar hoax, sementara masyarakat semestinya selektif memilih informasi. Jangan percaya berita bombastis, terlebih bila integritas sumbernya tidak jelas. Walaupun begitu, tidak perlu sampai ketakutan menghadapi hoax. Yang diperlukan hanyalah kewaspadaan untuk menghantamnya. Mari bersama-sama kita hantam hoax detik ini juga!
Iin Yumiyanti, Pemimpin Redaksi detikcom
Hantam Hoax merupakan program detikcom dalam memperingati Hari Pers Nasional yang didukung sejumlah tokoh dalam bentuk surat terbuka. Selengkapnya klik di sini: detik.com/hantamhoax
(iy/van)











































