"Kalau disuruh periksa, hakim dalam melaksanakan tugas tidak bisa dituntut dalam konteks pidana maupun perdata. Dalam konteks menjalankan tugas," ujar jubir MA Suhadi kepada detikcom, Rabu (8/2/2017).
Dalam kasus Hadi Poernomo, MA menunjukkan sikap kontradiktif. Yaitu dalam pertimbangan menyatakan pencabutan status tersangka Hadi Poernomo tidak sah, tapi dalam amarnya menyatakan tidak menerima permohonan PK yang diajukan KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan PN Jaksel nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah tidak tepat dan keliru. MA menyatakan pertimbangan itu telah melampaui wewenangnya dan dapat dikualifikasikan sebagai mencegah,merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam pasal 21 UU Tipikor.
MA juga mendasarkan pertimbangannya pada Pasal 2 ayat 3 Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016 yang menyatakan:
1. Pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
2. Putusan praperadilan yang mengabulkan penetapan tersangka, tidak menggugurkan kewenangan penyidik menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi, setelah memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang berkaitan dengan materi perkara.
Lalu bagaimana nasib penyidikan kasus Hadi Poernomo oleh KPK ?
"Dalam konteks itu dihentikan, sekarang ini kenapa dikabulkan (putusan tingkat pertama), coba dipelajari dulu ," ungkap Suhadi.
Kasus ini bermula saat KPK menetapkan Hadi sebagai tersangka pada 21 April 2014 terkait dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi saat Hadi menjabat Dirjen Pajak. Penetapan tersangka itu tepat setelah ia melakukan perpisahan sebagai Ketua BPK.
Atas penetapan itu, Hadi tidak terima dan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pada 26 Mei 2015, hakim tunggal Haswandi mengabulkan permohonan Hadi dan mencabut status tersangka Hadi.
"Bagian Pengawasan MA juga perlu memeriksa lebih lanjut pertimbangan yang muncul dalam putusan PK tersebut. Karena, selain dikatakan melebihi wewenang, juga dikaitkan dengan pasal 21 UU Tipikor," kata juru bicara KPK Febri Diansyah kepada detikcom, Kamis (2/2). (edo/asp)











































