Mbah Wagiran, Pengrajin Caping Bebek yang Masih Tersisa di Sleman

Mbah Wagiran, Pengrajin Caping Bebek yang Masih Tersisa di Sleman

Bagus Kurniawan - detikNews
Senin, 06 Feb 2017 13:40 WIB
Wagiran penjual caping (Bagus/detikcom)
Yogyakarta - Meski usianya sudah lebih dari 75 tahun, Mbah Wagiran masih kuat mengendarai sepeda ontelnya berkeliling wilayah Yogyakarta. Dia menjual caping atau penutup kepala yang terbuat dari daun kelapa kering, yang sering disebut sebagai caping bebek.

Caping bebek bentuknya berbeda dengan caping bambu yang masih banyak dipakai petani serta banyak dijual di pasar-pasar tradisional di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sekitarnya.

Caping bebek terbuat dari daun kelapa kering. Caping ini memiliki lingkaran lebih besar dan di bagian tengah tidak lancip. Sedangkan caping biasa terbuat dari anyaman bambu dan lancip di bagian tengah. Disebut caping bebek lantaran dulu lebih sering dipakai masyarakat pedesaan saat menggembalakan bebek di sawah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau yang buat caping bebek seperti ini sudah jarang. Bisa dihitung orangnya," kata Mbah Wagiran kepada detikcom.

Menurut dia, caping dari anyaman bambu masih banyak dibuat pengrajin di wilayah Kecamatan Moyudan dan Minggir, Sleman, sampai sekarang. Namun caping bebek sudah jarang ditemui di pasar-pasar tradisional, seperti Pasar Godean, Pasar Gamping, Pasar Sentolo, maupun Pasar Beringharjo.

Wagiran membuat caping bebek di sela-sela kegiatannya bertani. Sebelum membuat caping, dia harus lebih dulu mengumpulkan daun kelapa kering dan bambu. Daun kelapa kering tidak bisa dicari secara langsung di sekitar desa tempat tinggalnya di Dusun Semingin, Desa Sumbersari, Kecamatan Moyudan, Sleman.

"Ingkang angel menawi pados blarak (Yang susah itu mencari daun kelapa kering,--red)," katanya.

Mbah Wagiran, Pengrajin Caping Bebek yang Masih Tersisa di SlemanWagiran penjual caping (Bagus/detikcom)


Dalam satu hari, dia hanya bisa menyelesaikan satu buah caping. Pengerjaan membuat caping itu dilakukan di sela-sela bertani. Dalam satu minggu, ia hanya mampu menyelesaikan satu atau dua buah caping.

"Kalau sudah banyak, baru saya jual ke pasar atau keliling Yogyakarta," katanya.

Saat bertemu di kawasan Plengkung Gading, Mantrijeron, Kota Yoyakarta, Mbah Wagiran baru saja menjual caping ke Pasar Kotagede. Dia membawa 10 buah caping. Di Pasar Kotagede, caping ini laku terjual 4 buah. Dua buah caping lagi terjual kepada petani secara langsung saat berada di dekat sawah di Gamping, Sleman. Empat sisanya tetap dijual sembari pulang menuju rumah.

"Monggo dipun borong mawon. Setunggal Rp 35.000, menawi dipun borong dipun kirangi reginupun. (Silakan diborong saja. Satunya Rp 35.000, kalau mau diborong harga borong kurang," kata Mbah Wagiran.

Menurutnya, jarak dari rumahnya di Dusun Semingin hingga Pasar Kotagede lebih-kurang 25 km. Dia berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 WIB dan baru pulang ke rumah pukul 13.00 WIB.

"Kalau dulu banyak pedagang yang langsung pesan ke rumah. Sekarang saya jual keliling sampai Kota Yogyakarta atau ke Pasar Godean, Pasar Bibis dekat Gancahan, Pasar Gamping, Pasar Kemusuk, atau ke Sentolo," katanya.

Mbah Wagiran, Pengrajin Caping Bebek yang Masih Tersisa di SlemanWagiran penjual caping (Bagus/detikcom)


Dia mengaku berjualan keliling itu tidak semata-mata mencari uang. Tapi juga bisa bertemu atau berkenalan dengan banyak orang. Dia juga tidak memaksakan diri harus setiap hari berjualan caping bebek keliling.

"Yang penting badan masih kuat dan tidak perlu dipaksakan," pungkas Mbah Wagiran. (bgs/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads