Harjono: Kasus Patrialis Pengalaman Kedua MK dengan Orang Parpol

Harjono: Kasus Patrialis Pengalaman Kedua MK dengan Orang Parpol

Danu Damarjati - detikNews
Rabu, 01 Feb 2017 19:08 WIB
Harjono: Kasus Patrialis Pengalaman Kedua MK dengan Orang Parpol
Harjono (Andi Saputra/detikcom)
Jakarta - Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Harjono menyatakan memang kini tak lagi ada larangan sosok berlatar belakang partai politik (parpol) menduduki kursi hakim konstitusi. Namun, setelah kasus Patrialis Akbar mencuat, MK jadi punya catatan pengalaman buruk kedua setelah Akil Mochtar, yang juga berkasus.

"Sekarang pengalaman kedua, Pak Patrialis. Ini memang menjadi satu catatan. Apa yang diduga dulu kok terjadi juga," kata Harjono di Kantor Kepresidenan, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2017).

Yang dia maksud dengan dugaan terdahulu adalah soal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu 'penyelamatan MK'. UU itu mengatur agar seseorang yang menjadi hakim MK harus lepas dari parpol minimal setelah 7 tahun. Kini UU itu telah dibatalkan MK sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu dulu kan saat Pak SBY (presiden ke-6) membuat putusan, kualifikasi itu kan agar tidak dari kalangan parpol. Itu karena Pak Akil dulu dari parpol," kata Harjono.

Akil adalah sosok yang pernah menjadi kader Partai Golkar. Adapun Patrialis adalah nama yang pernah menjadi kader PAN.

Harjono menjelaskan, UU Nomor 4 Tahun 2014 itu dibatalkan karena pertimbangan bahwa tak semua orang parpol itu jelek.

"Bahwa itu (orang parpol itu jelek) stigma saja. Masak karena orang parpol maka jelek? Dan itu ada masalah diskriminasinya. Oleh karena itu, (UU itu) dinyatakan batal," kata Harjono menceritakan soal pembatalan UU itu beberapa tahun lalu.

Patrialis sendiri, menurut Harjono, punya dua beban. Pertama beban dari parpolnya. Apalagi di masa lalu, Patrialis juga terlibat pembahasan amendeman UUD 1945 yang memasukkan adanya MK bersama-sama dengan Hamdan Zoelva dan Harjono sendiri. Beban kedua, dia adalah sosok yang ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi hakim MK.

"Jadi ini ada beban-beban yang harusnya dipertimbangkan. Saya tidak salahkan siapa saja. 'In reality' itu ada di Pak Patrialis semua," kata mantan anggota Utusan Daerah di MPR yang kemudian dulu bergabung dengan Fraksi PDIP ini.

Lalu bagaimana dengan sekarang? Apakah sesudah pengalaman kedua MK dengan sosok berlatar belakang parpol maka hakim tak boleh lagi berasal dari parpol? Harjono menyerahkan keputusan ke pemerintah dan DPR.

"Ya mungkin ada keinginan itu di DPR atau di pemerintah," kata Harjono.

Kini Presiden Jokowi akan membentuk panitia seleksi hakim MK untuk mencari pengganti Patrialis. Dia mendukung Jokowi dalam merekrut hakim MK secara transparan. Namun sistem perekrutan tak perlu diubah, cukup praktiknya saja yang diperbaiki.

"Ya harus terbuka. Pak Presiden kan sudah mengatakan akan dilakukan secara transparan," kata Harjono.

Soal perlu atau tidaknya Presiden Jokowi menerbitkan perpu penyelamatan MK, serupa dengan yang dilakukan SBY pascakasus Akil, Harjono menyerahkan itu kepada Presiden. Soalnya, keputusan demikian adalah subjektif tergantung Presiden.

"Kembali lagi kepada Presiden, apakah ini dianggap sesuatu hal yang harus dianggap perlu membuat perpu," kata Harjono. (dnu/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads