Sidang Ke-8 Ahok: Kesaksian KPU dan Saksi Pelapor 'Ralat' BAP

Sidang Ke-8 Ahok: Kesaksian KPU dan Saksi Pelapor 'Ralat' BAP

Hestiana Dharmastuti - detikNews
Rabu, 01 Feb 2017 09:51 WIB
Sidang Ke-8 Ahok: Kesaksian KPU dan Saksi Pelapor Ralat BAP
Foto: Pool/Seto Wardhana
Jakarta - Selain memeriksa Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Ketum MUI) Ma'ruf Amin, sidang ke-8 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meminta keterangan dari anggota KPU DKI Jakarta Dahliah Umar dan saksi pelapor. KPU menjelaskan status Ahok saat berpidato di Kepulauan Seribu.

Anggota KPU DKI Dahliah Umar menjelaskan posisi Ahok pada 27 September 2016 baru mendaftar sebagai bakal calon Gubernur DKI alias belum ditetapkan sebagai pasangan calon saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Menurut dia, penetapan pasangan calon ditentukan pada 28 Oktober 2016.

Dahliah menerangkan tidak ada aturan soal batasan kampanye bagi para pendaftar cagub/cawagub DKI Jakarta. Aturan kampanye berlaku setelah KPU menetapkan pasangan calon. Selain itu, Dahliah mengatakan tidak ada laporan dari Bawaslu soal kampanye di luar jadwal. Sebab, saat Ahok berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016, belum ada penetapan pasangan calon.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain Dahliah, majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto ini meminta keterangan saksi pelapor Ibnu Baskoro. Ibnu ikut melaporkan Ahok ke polisi karena penyebutan Surat Al-Maidah ayat 51. Penyebutan ayat Alquran dianggap sebagai penodaan agama. Saat ia bersaksi, majelis hakim meminta penjelasan Ibnu atas ketidaksesuaian keterangannya di berita acara pemeriksaan (BAP).

Berikut ini keterangan KPU dan saksi pelapor:

Ahok Belum Cagub

Foto: Haris Fadhil/detikcom
KPU DKI menegaskan posisi Ahok pada 27 September 2016 baru mendaftar sebagai bakal calon Gubernur DKI alias belum ditetapkan sebagai pasangan calon.

"Belum (belum penetapan pasangan calon,--red) karena ditentukan tanggal 28 Oktober 2016," ujar anggota KPU DKI Dahliah Umar saat bersaksi dalam sidang lanjutan Ahok di auditorium Kementan, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1/2017).

Dalam persidangan, Dahliah menjelaskan tahapan Pilkada DKI Jakarta, yang diikuti Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Ahok-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pemungutan suara Pilkada DKI dilakukan pada 15 Februari 2017.

"Penelitian berkas calon 23-29 September 2016. Penetapan calon tanggal 28 Oktober 2016," sebut Dahliah.

Hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto juga bertanya soal posisi gubernur definitif yang ikut kembali mencalonkan diri pada Pilkada. KPU, menurut Dahliah, hanya mengatur batasan terhadap pasangan calon yang ditetapkan. Bawaslu-lah yang mengawasi gerak-gerik pasangan calon.

"Paslon untuk gubernur definitif bisa mensosialisasikan Pilkada?" tanya hakim. "Kalau belum ada paslon, KPU tidak berhak menetapkan statusnya yang dimaksud paslon," ujar Dahliah.

Tidak Ada Sanksi untuk Ahok

Foto: Pool/Seto Wardhana
Anggota KPU DKI Jakarta Dahliah Umar menegaskan tidak ada aturan soal batasan kampanye bagi para pendaftar cagub/cawagub DKI Jakarta. Aturan kampanye berlaku setelah KPU menetapkan pasangan calon.

"Tidak ada (sanksi, --red), karena aturan mengikat usai ditetapkan sebagai pasangan calon," kata Dahliah dalam sidang lanjutan Ahok di auditorium Kementan, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1/2017).

Dahliah dalam persidangan menyebut tidak ada laporan dari Bawaslu soal kampanye di luar jadwal. Sebab, saat Ahok berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016, belum ada penetapan pasangan calon.

"Tidak ada laporan dari Bawaslu karena masa kampanye belum mulai," ujarnya.

Ahok dalam surat dakwaan jaksa disebut sengaja menggunakan Surat Al-Maidah 51 untuk kepentingan proses Pilkada DKI. Saat dimintai konfirmasi hakim, Dahliah menegaskan, pada 27 September 2016, berkas para bakal calon yang mendaftar masih diperiksa oleh KPU.

"Masih pemeriksaan, belum tentu kami loloskan berkasnya," ujar Dahliah soal tahapan Pilkada terkait dengan tanggal 27 September 2016.

Saksi Pelapor Ralat BAP

Foto: Pool/Isra Triansyah
Ibnu Baskoro ikut melaporkan Ahok ke polisi karena penyebutan Surat Al-Maidah ayat 51. Penyebutan ayat Alquran dianggap sebagai penodaan agama.

"Kaitannya (soal kalimat, --red) dibohongi pakai Al-Maidah 51. Itu menodai agama yang saya anut," tegas Ibnu saat bersaksi dalam sidang lanjutan Ahok di auditorium Kementan, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1/2017).

Lulusan S2 manajemen ini mengaku sudah melihat video pidato Ahok saat bertemu dengan warga Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu. Dari total durasi 1 jam 48 menit, Ibnu mengaku menyaksikan video dengan durasi 35 menit. "Setelah melihat video tersebut, saya diskusi dengan teman-teman di masjid. Kemudian di tanggal 10 saya mengumpulkan orang, saya tanya apakah mereka sepakat ini penodaan agama atau bukan. Hampir sebagian besar mengatakan ini penodaan, mereka memberikan surat kuasa bertiga sebenarnya ke pihak berwajib," terang Ibnu.

Atas dasar surat kuasa tersebut, Ibnu melapor ke Bareskrim Polri pada 12 Oktober 2016. Dia menyebut ada lebih dari 100 orang yang memberikan kuasa kepada dirinya untuk melaporkan Ahok.

Saat ditanya hakim soal konfirmasi langsung atas ucapan Ahok, Ibnu mengaku tidak melakukannya. "Secara resmi tidak, saya lepas saja. Hasilnya kita sama-sama sepakat. Yang saya tanyakan semua sepakat 108 jemaah (setuju melapor)," sambung Ibnu.

Ibnu juga ditanya hakim tentang ketidaksesuaian keterangan soal kunjungan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dalam pertanyaan nomor 11 pada BAP, Ibnu menerangkan tidak mengetahui pihak yang hadir saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Pulau Pramuka pada 27 September 2016.

Selain itu, Ibnu ditanya mengenai kronologi dirinya mengetahui pidato Ahok dan tanggal pelaporan ke Bareskrim Polri. Ada perbedaan keterangan yang dipersoalkan, yakni soal Ibnu yang mengetahui pidato Ahok pada 28 September 2016. Tapi di BAP tertulis keterangan Ibnu pada poin 7 yang menyebut mengetahui video pidato kontroversial Ahok pada 6 Oktober 2016.

"Tanggal 6 Oktober 2016 tersebut saya mendengarkannya serius, mengenai tanggal 28 September saya sudah lupa majelis hakim," jelas Ibnu."Dalam pertanyaan nomor 6 (BAP). (Ditanyakan) kapan dan di mana kejadian tersebut? Anda jawab pada tanggal 27 September, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menghadiri acara kerja sama antara Pemprov dengan sekolah perikanan di Kepulauan Seribu yang dihadiri anggota muspida, Bupati Pulau Seribu, lurah, dan masyarakat. Kan ini nggak cocok (dengan BAP nomor 11,--red). Bisa jelaskan?" tanya hakim dalam sidang lanjutan Ahok di auditorium Kementan, Ragunan, Jaksel, Selasa (31/1/2017).

Ibnu mengatakan mengetahui pihak-pihak yang hadir dari pidato Ahok saat bertemu dengan warga. Tapi Ibnu tidak mengenal orang-orang tersebut.

'Kampanye Terselubung'

Foto: Pool/Isra Triansyah
Selain itu, Ibnu mengaku melaporkan Ahok karena sudah menggunakan surat Al-Maidah 51 untuk bicara mengenai Pilkada. Padahal Ahok, menurutnya, datang dalam kunjungan kerja ke Pulau Pramuka.

"Saudara Terdakwa memakai baju dinas, program itu resmi Pemprov dan Saudara Terdakwa menyatakan hal-hal yang menyangkut Pilkada," jelas Ibnu.

Ibnu kemudian mengutip pernyataan Ahok saat pidato mengenai budidaya ikan kerapu. Ahok, menurut Ibnu, mengatakan pernyataan soal 'pilih saya'.

"Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya karena masuk neraka', yang saya lihat Saudara Terdakwa menyatakan bahwa dibohongi pakai surat Al-Maidah macam-macam itu. Dibodohi pakai Al-Maidah itu kampanye terselubung, menurut saya," jelas dia.

Keterangan ini kembali dipertanyakan pengacara Ahok. Ibnu kemudian menyebut tidak ada kalimat persis yang menyatakan untuk meminta dipilih.

"Kalau persisnya minta dipilih nggak ada," kata Ibnu.

"Kalau begitu kok bisa dibilang kampanye," tanya pengacara Ahok. "Namanya terselubung, kalau jelas ya kampanye," jawab Ibnu.

Ahok kembali keberatan dirinya disebut melakukan kampanye terselubung. Dia menegaskan tidak pernah berkampanye saat datang ke Pulau Pramuka.

"Saya tidak terima saksi mengatakan saya berkampanye terselubung. Bahkan kalau karena keyakinan Saudara dengan Al-Maidah 51, silakan nggak pilih saya," jelas Ahok.

"Saya nggak terima Saudara menganggap saya menghina Al-Maidah 51. Saudara tidak berhak mengganggu hak konstitusi saya. Kalau saksi tidak setuju, silakan masuk partai ubah konstitusi, yang mau mengubah silakan menang di pemilu," ujar Ahok.
Halaman 2 dari 5
(aan/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads